STUDI KASUS PEDAGANG KAKI LIMA
NAMA USAHA :
WARUNG LESEHAN B. VIVI
LOKASI : JALAN JAWA JEMBER
PEMILIK/RESPONDEN : IBU
VIVI
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar
Belakang Masalah
Pedagang Kaki Lima adalah salah satu permasalahan perekonomian yang dialami
sebagian kecil masyarakat umunya di
Indonesia, membuat sebagian masyarakat Indonesia memilih salah satu alternatif
usaha di sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya melihat kelangsungan hidup yang makin hari makin meningkat
harganya terutama harga sembako. Kehadiran Pedagang Kaki Lima yang menempati
pingi-pinggiran kota di pesisir jalan dan di pesisir pasar yang sangat
menganggu ketertiban lalu lintas dan gangguan pada prasarana pejalan kaki, dan
kemacetan kota. Sehingga, pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan
pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan aman dari sekeliling
masyarakat. akan tetapi Pedagang Kaki Lima sebagai bagian dari usaha sektor
informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja untuk
masyarakat yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai karena
rendahnya tingkat pendidikan yang menjadi masalah sehingga terbukanya dan
terbentukya yang namanya PEDAGANG KAKI LIMA.
Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah.
Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat
kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua
model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses
pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah.
Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.
Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat
tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh
seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan
masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana
pemerintah dalam memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota
yang merujuk pada ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal
bagi kehadiran para pedagang kaki lima.
2) Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
a)
Bagaimana persoalan Pedagang Kaki Lima yang ada di
kota Jember khususnya daerah kampus UNEJ?
b)
Bagaimana kebijakan yang di keluarkan pemerintah untuk
mengurangi masalah dari pedagang kaki lima?
c)
Apakah solusi yang tepat untuk masalah dari Pedagang
Kaki Lima?
3) Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas. Tujuan penulisan makalah ini sebagai
berikut :
a)
Untuk mengetahui gambaran masalah yang menyangkut
dengan Pedagang Kaki Lima yang ada di kota Jember khususnya daerah kampus UNEJ
b)
Untuk mengetahui kebijakan apa saja yang di terapkan
oleh pemerintah untuk menangani pedagang kaki lima
c)
Untuk mencari solusi terkait permasalahan Pedagang
Kaki Lima
4) Manfaat Penulisan
Manfaat yang
dapat diperoleh dari penulisan makalah ini mencakup beberapa diantaranya
sebagai berikut :
a)
Memberikan pembelajaran bagi pedagang kaki lima agar
tidak mengganggu pejalan kaki dan sebagainya.
b)
Memberikan masukan bagi pemerintah kota Jember dalam
upaya mengatasi persoalan pedagang kaki lima
c)
Memberikan wawasan dan masukan bagi para pedagang kaki
lima dalam mengatasi masalah pedagang kaki lima.
BAB II
PEMBAHASAN
Berawal dari
pedagang keliling yang memasarkan dagangannya ke berbagai tempat yang ramai, di
sanalah awal sebutan “Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Biasanya, para pedagang
yang berpindah-pindah itu, membawa kain besar segi empat ke mana ia pergi.
Setelah menemukan tempat yang dianggap layak untuk menjual barang dagangannya,
kain besar itu dikembangkan. Ke empat sudutnya diikat dan dihubungkan dengan
tongkat sebagai tiang dan di bagian tengahnya ditopang dengan galah bambu.
Jadilah empat sudut dan satu tiang penyangga menjadi lima. Sehingga, pedagang
dan pembeli berlindung di bawah tenda berkaki lima. Lama-lama, popularlah
sebutan kepada pedagang tidak tetap yang berada di tanah lapang atau pinggir
jalan itu sebagai pedagang kaki lima.
Konflik antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota Jember
terjadi karena salah satu pihak memiliki kekuasaan dan perbedaan kepentingan
masing-masing ada yang ingin menjalani hidupnya dengan usaha kecilnya sementara
pemerintah kota Jember juga ingin menertibkannya agar kota Jember aman dan
bersih dari lingkungan.
Ini adalah sebagian dari pemersalahan dari pemerintah
kota Jember yang ingin di selesaikan dan di tertibkan di antaranya :
1)
Masalah utama yang dihadapi oleh Pedagang kaki lima di
kota Jember khususnya di daerah kampus UNEJ
Masalah yang
utama itu dari yang saya survey di setiap pedagang kaki lima di pinggiran jalan
kampus UNEJ Jember yaitu Penggusuran Para PKL liar yang tidak memiliki TDU (Tanda
DaftarUsaha) mereka biasanya akan di gusur dengan peringatan yang di berikan
sampai di laksanakan penggusuran paksa padahal Pedagang kaki lima merupakan
salah satu solusi akan masalah tingginya angka pengangguran dan sedikitnya
lapangan kerja bagi masyarakat berpendidikan rendah seperti mereka. Pemerintah
dalam hal ini tidak dapat menyediakan lahan pengganti bagi mereka untuk
melanjutkan usaha mereka, jika pun ada pemerintah menyediakan lahan-lahan yang
letaknya kurang strategis yang secara pasti menurunkan dan mematikan pendapatan
yang mereka dapatkan dan akhirnya mereka harus gulung tikar dan menjadi
pengangguran yang semakin menambah permasalahan di Indonesia. Pemerintah harus
mencari cara dan tempat yang baik untuk mereka berdagang ditengah modal mereka
yang kecil agar di sisi lain semua para pedagang kaki lima tidak hilang
lapangan kerjanya dan bias melanjutkan kelangsungan hidupnya.
2)
Tempat Pedagang Kaki Lima yang merajalela di kota Jember
khususnya di daerah kampus UNEJ
Tempat pedagang kaki lima bagi Mahasiswa didaerah
kampus UNEJ Jember sangat penting sebagai penyedia kebutuhan yang dibutuhkan
oleh Mahasiswa Jember. Pedangan kaki lima sangat mempengaruhi pola pasar dan
sosial di Jember khususnya didaerah kampus UNEJ. Dalam bidang perekonomian
pedagang kaki lima hanya berpengaruh sebagai produsen yang penting bagi Mahasiswa
Jember mengingat akan banyaknya Mahasiswa. Mereka cenderung lebih memilih
membeli pada pedagang kaki lima daripada membeli di supermarket yang sudah
merajalela di kota Jember pada saat ini, mall atau grosir maupun indogrosir
yang banyak tersebar di kota Jember, dikarenakan harga yang mereka tawarkan
lebih murah di bandingkan denga harga yang ada di mall. Pedagang kaki lima
telah menjadi mata pencaharian utama sebagian warga Jember.
3)
Masalah yang di hadapi oleh pemerintah kota Jember
Persoalan
Pemerintah Kota Makassar dalam menangani PKL di Jember yakni penertiban dan
penataan PKL. Sulitnya penertiban dan penanganan yang dilakukan karena
kurangnya kesadaran PKL terhadap aturan dan terganggunya fasilitas umum karena
adanya aktivitas dagang mereka. Satpol PP sebagai eksekutor dalam Penertiban
dan Penanganan mengaku sangat lelah dalam penertiban secara terus-menerus, yang
dilakukan di daerah tersebut. Penertiban dilakukan dengan melalui pemberitahuan
kepada PKL terhadap lokasi yang mereka tempati sebagai lokasi sarana umum.
Penanganan dengan cara pemberian surat teguran dari Pemkot kepada kecamatan /
kelurahan dimana PKL tersebut menempati lokasi dagang mereka namun penaganan
dan penertiban tersebut kurang dihiraukan sehingga Pemkot melalui satpol PP
pemda Jember melakukan penggusuran secara tegas. "Perencanaan yang dibuat
harus benar-benar terbingkai dalam sistem penyelenggaraan pemerintah yang baik
dan bertanggung jawab sebagaimana tujuan dari prinsip otonomi daerah yang tidak
melepaskan hak-hak masyarakat lainya (Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang
Pemeritah Daerah)", Kalau kita melihat, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas
dan Angkutan Jalan pada pasal 131 ayat (1) dijelaskan pejalan kaki berhak atas
ketersediaan pendukung berupa trotoar, tempat penyebrangan dan fasilitas lain.
Selain itu, setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi
perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang
cacat.
4)
Kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah kota Jember
Implementasi
kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan
proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini
relokasi, relokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution
atas permasalahan PKL.
Dengan
dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang
indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang
ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk
formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima
pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut
hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik
restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya
akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya
antara lain :
1.
Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah
disediakan berupa kios-kios.
2.
Kios kios tersebut disediakan secara gratis.
3.
Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4.
Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90
hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Dengan
demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan
tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios –
kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya.
Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi,
pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa
telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah
Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi
tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban
melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan
Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam
kebijakan ini yaitu;
Pertama,
dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak
sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat
dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke
dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini
dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten
Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas
Pengelolaan Pasar.
Kedua,
adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara
pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi
timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah
seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan
ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik
temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima
menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan
sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki
lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan
kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya
sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang
ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan
terhadap kebijakan relokasi.
Dalam
perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap
penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah
penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan
partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius
untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi
masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi
sia-sia belaka.
Dalam
keadaan Seperti ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan mental, yaitu
bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan
hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang
untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidak jujuran.
Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat
hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan
modern. Dan ketidak jujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk
mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system
atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap
PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.
Pembinaan
mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang berkenaan dengan
masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa religius baik melalui
media tatap langsung, selebaran, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sektor informal sebagai sektor alternatif bagi para
migran cukup memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan. Selain membuka
kesempatan kerja, sektor informal juga dapat meningkatkan pendapatan bagi
masyarakat kota. Namun, pertumbuhan sektor informal yang pesat tanpa mendapat
penanganan yang baik dan terencana akan menimbulkan persoalan bagi kota. Untuk
itu, pemerintah kota harus jeli dalam menangani masalah sektor informal itu.
Sehingga, sektor informal dapat tumbuh dengan subur tanpa mengganggu
kepentingan umum, terutama tidak mengganggu keamanan, ketertiban dan keindahan
kota.
No comments:
Post a Comment