Translate

Tuesday, September 3, 2013

Pengantar Ilmu Politik Menurut Miriam Budiarjo Beserta Contoh Kasus




A.    Konsep dan Ilmu Politik
Menurut Miriam Budiarjo politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan, yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.

Ada lima konsep pokok dalam ilmu politik, yaitu:
1.      Negara (state); menurut Miriam Budiarjo Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati moleh rakyatnya. Menurut Thomas Aquinas: Negara merupakan lembaga sosial manusia yang paling tinggi dan luas yang berfungsi menjamin manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya yang melampaui kemampuan lingkungan sosial lebih kecil seperti desa dan kota.
2.      Kekuasaan (power); menurut Miriam Budiarjo kekuasan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
3.      Pengambilan Keputusan (decision making); menurut Miriam Budiarjo keputusan adalah membuat pilihan diantara beberapa alternatif, sedangkan istilah pengambilan keputusan menunjukkan pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh masyarakat.
4.      Kebijakan (policy); menurut Miriam Budiarjo kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
5.      Pembagian (distribution); menurut Miriam Budiarjo yang dimaksud dengan pembagian adalah pembagian dan penjatahan niali-nilai dalam masyarakat.

B.     Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.
Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri.
Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).
Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi. Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association pada 1904.
Perkembangan ilmu politik setelah Perang Dunia II berkembang lebih pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, walaupun penelitian tentang negara di Belanda masih didominasi oleh Fakultas Hukum. Di Indonesia sendiri didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, seperti di Universitas Riau. Perkembangan awal ilmu politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju pada saat itu.Sekarang, konsep-konsep ilmu politik yang baru sudah mulai diterima oleh masyarakat.
Di negara-negara Eropa Timur, pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan hukum masih berlaku hingga saat ini. Sesudah keruntuhan komunisme, ilmu politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan ditambahnya pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di negara-negara barat pada pendekatan tradisional.
Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh dorongan kuat beberapa badan internasional, seperti UNESCO. Karena adanya perbedaan dalam metodologi dan terminologi dalam ilmu politik, maka UNESCO pada tahun1948 melakukan survei mengenai ilmu politik di kira-kira 30 negara. Kemudian, proyek ini dibahas beberapa ahli di Prancis, dan menghasilkan buku Contemporary Political Science pada tahun 1948.
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda.
Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.


C.    Negara, Kekuasaan, dan Legalitas
Prof. Miriam Budiardjo: Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap Negara, apapun ideologinya menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yaitu  :
1.      Fungsi penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka Negara harus melaksanakan penertiban atau bertindak sebagai stabilisator.
2.      Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari Negara.
3.      Fungsi pertahanan, yaitu untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, sehingga Negara harus diperlengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4.      Fungsi keadlian, yang dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.

Sifat dan hakikat negara menurut Prof . Miriam Budiardjo mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.      Sifat Memaksa
Negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuatan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan alat penjamin hukum lainnya. Dengan sifat memaksa ini diharapkan semua peraturan perundangan yang berlaku ditaati supaya keamanan dan ketertiban negara tercapai. Bentuk paksaan yang dapat dilihat dalam suatu negara adalah adanya Undang-Undang perpajakan yang memaksa setiap warga negara untuk membayar pajak, bila ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukuman.
2.      Sifat Monopoli
Negara mempunyai sifat monopoli dalam menetapkan tujuan bersama masyarakat. Misalnya negara dapat mengatakan bahwa aliran kepercayaan atau partai politik tertentu dilarang karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat dan negara.
3.      Sifat Mencakup Semua ( All - embracing )
Semua peraturan perundangan yang berlaku adalah untuk semua orang tanpa kecuali. Hal itu perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha negara untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan akan gagal.

Kekuasaan menurut Miriam budiardjo, yaitu kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Miriam Budiarjo (1985) menyebut negara sebagai sebuah kesatuan elemen politik. Kesatuan ini bermakna sebagai sebuah konsensus formal yang menunjuk satu pola untuk mengelola kekuasaan dan masyarakat. Negara dengan konsensus tersebut memiliki hak dan kekuasaan untuk memaksa anasir masyarakat untuk tunduk pada aturan-aturan yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan sosial.
Budiarjo menyebutkan dua fungsi fundamental dari negara, yaitu mengatur kekuatan politik dalam negara agar tidak terjadi antagonisme yang menggangu stabilitas dan keteraturan sosial; dan memadukan aktivitas warga negara untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati (Budiarjo, 1985).
Negara secara prinsipil merupakan agen dan institusi formal yang mengatur masyarakat atas nama masyarakat. Pengendalian atau pengaturan oleh negara bertujuan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dan harmonis antar anggota atau kelompok dalam masyarakat. Agar berjalan sesuai dengan kebutuhan maka negara menciptakan aturan sekaligus agen (agency) pelaksana. Aturan-aturan tersebut mengikat. Warga negara memiliki fungsi kontrol melalui mekanisme pengaturan yang disepakati secara awam.
Mengutip Lanski, Budiarjo menyebutkan tujuan terbentuknya negara sebagai sebuah insitusi yang memungkinkan pencapaian maksimal dari tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan keberadaan negara pun berkembang seiring dengan perkembangan idiologi-idilogi politik. Marxisme memandang negara sebagai alat kontrol untuk membatasi kekuasaan atas modal yang menimbulkan ketidakadilan atau persoalan ketimpangan ekonomi masyarakat. Liberalisme memandang negara semata sebagai pengawas agar gerak persentuhan masyarakat tidak saling berbenturan. Mekanisme adalah bentuk yang paling ideal dalam aliran politik ini. Pada marxisme negara bertujuan untuk meratakan keadilan agar dapat diakses secara setara.
Perbincangan soal negara pun diperdebatkan dalam ranah pengetahuan yang berbeda, seperti politik, sosiologi, psikologi, hingga agama. Perbedaan sudut pandang tersebut memunginkan pengayaan. Sejarah filsafat Yunani kuno bahkan banyak menyebutkan perbincangan soal negara, seperti diskursus kenegaraan yang banyak diulas oleh Plato. Artinya, perkembangan negara merupakan bagian penting dalam perkembangan masyarakat selanjutnya. Ilmu dalam hal ini memandang perlu unutk menjadi bagian langsung dalam perumusan dan pembentukan negara.
Agama dalam konteks agama pun menjadi sangat beragam. Pada sejarah kekuasaan Eropa abad pertengahan -yang dikenal dengan abad kegelapan- peran agama menjadi sangat sentral. Institusi agama memiliki kemapuan untuk secara langsung melakukan intervensi terhadap kekuasaan negara. Revolusi Perancis adalah salah satu bentuk penolakan masyarakat atas keterlibatan agama secara terlalu dalam dalam pengelolaan negara.
Negara-negara di Timur tengah pada abad 18 juga dipengaruhi secara kuat oleh keberadaan agama. Beberapa kerajaan secara terperinci dan jelas menyebutkan agama tertentu sebagai asas atau fondasi mendasar dalam pengeloloaan negara. Runtuhnya kerajaan Turki Ustmani yang ditandai dengan reformasi besar-besaran Turki oleh Musthafa Kamal at-Turk adalah bentuk penolakan yang serupa terhadap institusi kerajaan Ustmani sekaligus peran agama yang dominan.
Ide tentang negara megalami pasang-surut dari waktu ke waktu. Kerasnya persaingan antar negara-bangsa menyebabkan beberapa negara menginginkan situasi yang kembali pada tahun atau model-model tradisional pengelolaan negara. Tak heran jika gerakan-gerakan yang mendorong terbebntuknya negara agama sangat marak di pelbagai belahan dunia. Di Irlandia kelompok Kristen Protestan mencoba membangun sebuah konsep negara agama dan perjuangannya. Perjuangan mewjudkan negara agama pun terjadi pada kelompok Islam. Dengan slogan perlawanan atas doominasi barat, gerakan seperti Hizbut Tahrir yang bersifat internasionalis kembali mencita-citakan terbentunya negara-negara agama.

D.    Contoh Kasus
Negara dan Etnis Tionghoa
Sejarah Diskrimnasi terhadap etnis Tionghoa terjadi sejak Orde Lama dan dipertahankan secara struktural oleh Orde Baru dan juga secara tidak langsung dipertahankan terus-menerus oleh aparat pemerintah. Sejak pemberlakuan UU tahun 22 Tahun 1958 tentang Surat Bukti Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) kelompok Tionghoa menjadi kelompok yang terdiskriminasi secara dmisnitratif dan sosial. Tindakan negara yang membedakan etnis Tionghoa diikuti oleh masyarakat secara tidak langsung. Stereotipe tentang Etnis Tionghoa pun melekat sebagai pengetahuan umum (common sense).
Kelahiran UU tahun 62 Tahun 1958 yang salah satunya mengatur SKBRI mulanya adalah bentuk respon politik pemerinah Indonesia terhadap sikap pemerintah China yang memberlakukan prinsip Ius Sanguinis dalam ketatanegaraannya. Namun, tanpa disadari sikap penerbitan UU tersebut justeru memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat etnis Tionghoa (Effendi & Prastyadji, 2008).
Terbitnya UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia yang menghapus pemberlakuan UU 62 tahun 1958 tidak sepenuhnya efektif. Fakta menunjukkan bahwa secara sistematis pembedaan atas etnis Tionghoa secara formal masih diberlakukan dan dipertahankan. Keputusan Presiden No 56 tahun 2006 yang secara eksplisit mengatur pembatalan praktek kewajiban SKBRI tidak berjalan mulus pula. Praktek dan aturan hukum masih memiliki jarak yang cukup jauh yang tidak memudahkan enis Tionghoa untuk mengakses administrasi sengara secara lebih mudah.
Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No 26 Tahun 1998 yang menghilangkan praktek penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi juga tidak menyurutkan praktek-praktek pemdeaan secara admisnitratif kepengurusan kependudukan yang berimplikasi pada hal-hal lainn pada kelompok etnis Tionghoa. Aparatus pemerintah di pelbagai level masih tetap melakukan pembedan yang telah menjadi semacam mekanisme kultural. Sosialisas tentang hilangnya pembedaan sangatlah minim dan diperburuk dengan budaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang telah mengental dan mendarah daging pada pelaku pelayanan publik.

Analisis Contoh Kasus
Tindakan diskriminatif oleh negara selalu menjadi contoh atau bom waktu di tengah masyarakat. Tindakan yang terkadang dilanggengkan dengan terbitnya jenis-jenis peraturan pemerintan merupakan sebuah percontohan yang terus menerus bagia masyarakat untuk melakukan atau meniru praktek intimidasi dan diskriminasi pada level akar rumput.
Isu Etnis Tionghoa dan PKI adalah yang paling kentara. Pengetahuan awam masyarakat tentang keduanya nyaris seragamakarena memmang dibentuk oleh negara. Perisitiwa kekejian pemberangusan aset Etnis Tionghoa dan yang juga diikuti oleh pembantai dan pemerkosaan pada pertengahan Mei 1998 adalah ledakan bom waktu dari cara pemerintah mengajarkan perbedaan kepada masyarakat melalui peraturan yang disahkan dan diberlakukan oleh negara.
Persitiwa serupa terjadi pada penyerangan-penyerangan kelompok sipil kepada aksi buruh yang diidentikan dengan gerakan kiri. Setali tiga uang dengan kasus Etnis Tionghoa, hal tersebut adalah buah dari cara negara memperlakukan warga negaranya yang ditiru oleh masyarakat sipil.
Rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa praktek kekerasan struktural dan kultural hanya akan melahirkan tindak kekerasan yang lain. Negara yang mengedepankan kekerasan secara tidak langsung memberikan pembelajaran kepada masyarakat untuk melakukan tindakan serupa.

1 comment:

  1. Maaf, apakah saya boleh menjadikan blog ini sebagai referensi bahan makalah kuliah saya, jika boleh, penulis atas nama siapa ya? Terima kasih

    ReplyDelete

comment with facebook