KOMUNIKASI
RISIKO SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN STRUKTUR ANALISIS RISIKO
Apakah yang
disebut risiko?
Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai
suatu kejadian yang tidak atau kurang menyenangkan,
misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung dianggap
sebagai sesuatu yang
harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai probabilitas dari
suatu kejadian
yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi dari kejadian kejadian tersebut
sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk assessment).
Risiko seringpula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus
melibatkan konflik persepsi dansudut pandang. Persepsi publik tentang risiko
terkadang memainkan peranan penting, sebagaimana pandangan
para pakar dalam debat mengenai teknologi baru, misalnya isu tanaman
transgenik.
Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian
hasil (outcome), baik berupa oportunitas positif atau ancaman
negatif, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari
kemungkinan dan pengaruh/impak,
termasuk persepsi kepentingan. Sebagian besar kebijakan pemerintah pada dasarnya melibatkan
penanganan atau pengalihan risiko kepada publik. Risiko tertentu dapat bersifat
lebih signifikan pada
konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang berbeda. Eliminasi
semua risiko
merupakan hal yang mustahil, sehingga keputusan yang sulit sebenarnya adalah
menentukan risiko mana yang sebenarnya masih
dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan suatu ancaman potensial seharusnya
juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana agar lebih
siap menghadapi
jika insiden tersebut terjadi.
Jenis-jenis
risiko seperti apakah yang dihadapi publik?
Pemahaman mengenai bagaimana risiko mempengaruhi
publik dapat membantu proses identifikasi risiko.
Risiko dapat dibedakan dari cara-cara pandang berikut ini:
Ø Berhubungan
dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sumber risiko, misalnya pada saat melakukan
kegiatan olahraga atau bepergian dengan menggunakan mobil
Ø Berhubungan
dengan ancaman/bencana, misalnya kabel terbuka bermuatan listrik atau adanya organisme
penyebab penyakit
Ø Berhubungan
dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas berisiko
atau terekspos
kepada ancaman/bencana, misalnya kecelakaan atau sakit
Ø Berhubungan
dengan konsekuensi dari suatu kejadian, misalnya cedera, gangguan kesehatanatau
kerugian finansial
Beberapa contoh kejadian-kejadian berisiko: (a)
kejadian alami, misalnya banjir, cuaca dingin; (b)kecelakaan, misalnya
kecelakaan jalan raya, kebocoran atau pencemaran bahan kimia; (c) penyakitatau
infeksi; (d) politis, misalnya perang, terorisme; (e) kriminal, misalnya
kekerasan, pencurian,penipuan; (f) kejadian ekonomi, misalnya resesi; dan (g)
polusi atau kemusnahan/destruksi habitat
Sementara itu, beberapa contoh kemungkinan konsekuensi
dari kejadian berisiko diantaranya adalah:(a) kematian, (b) cedera, (c) sakit,
(d) kehilangan atau kerusakan properti, (e) kerugian finansial, (f) kehilangan
kesempatan meraih sumber pendapatan potensial, (g) kehilangan waktu, (h)
kerusakanlingkungan, dan (i) derita/tekanan emosional.
Timbulnya jenis jenis risiko tertentu dapat
menyebabkan kekhawatiran publik yang serius, terutama jikamengandung
ketidak-pastian berkenaan dengan outcomenya.
Kekhawatiran publik tersebut jika tidakditangani secara cepat dan efektif dapat
berekskalasi menjadi krisis.
Mengapa
komunikasi yang baik menjadi penting dalam menghadapi risiko?
Berdasarkan asumsi proses komunikasi dua arah, komunikasi
dengan publik dapat membantu pena-nganan risiko secara lebih efektif, yaitu:
Ø Membantu
untuk mencegah berkembangnya krisis
Ø Membantu
pengambilan keputusan yang lebih baik dalam menangani risiko
Ø Membantu
untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan penanganan risiko
Ø Membantu
untuk memberdayakan dan meyakinkan publik
Ø Membantu
untuk membangun kepercayaan publik
Mengapa
mengkomunikasikan tentang risiko menjadi semakin penting?
Mengkomunikasikan risiko kepada publik menjadi isu
yang semakin penting, terutama bagi pihak pemerintah.
Beberapa alasan yang melatar-belakangi kepentingan ini diantaranya adalah:
Ø Sifat risiko
cenderung menjadi semakin kompleks dan semakin tidak pasti.
Kecepatanperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengarah pada kekhawatiran
barumengenai manufactured risiko yang
seringkali sukar dibuktikan. Sejalan dengan keadaandunia yang semakin interconnected dan interdependent, maka probabilitas seseorangterekspos pada risiko
yang dahulunya tidak mungkin, menjadi semakin tinggi.
Ø Perilaku
publik terhadap risiko maupun pemerintah telah berubah. Rasa skeptis
yangsemakin tinggi terhadap institusi, kekhawatiran terhadap risiko yang
semakin meningkat,serta akses terhadap informasi yang semakin luas, telah
menempatkan pemerintah padaposisi yang semakin menjadi sorotan publik. Hal ini
mengimplikasikan bahwa pemerintahharus bekerja lebih keras dan beroperasi
secara lebih transparan untuk menjaga keperca-yaan publik berkaitan dengan
informasi yang disebarkan.
Ø Berbagai
kasus mutakhir, misalnya mengenai tanaman transgenik, memberikan gambaranbahwa
pengkomunikasian risiko kepada publik harus lebih didasarkan pada bukti,
lebihterbuka dan dilakukan secara partisipatif.
Prinsip-prinsip
panduan komunikasi risiko
Sandman (1993) mengemukakan bahwa perkataan “awas!”
dan “jangan khawatir” merupakan duafrasa yang sering digunakan untuk: (a)
mengingatkan orang lain akan adanya potensi bahaya, dan (b)memberitahu orang
lain bahwa tidak perlu terlalu khawatir terhadap potensi bahaya
tersebut.Komunikasi risiko seperti di atas pada dasarnya merupakan proses
komunikasi satu arah yangmengasumsikan: (a) orang yang mengingatkan/memberitahu
memiliki pengetahuan lebih mengenairisiko dimaksud dibandingkan dengan orang
yang diingatkan/diberitahu, (b) orang yang mengingatkan/memberitahu sangat
memperhatikan/khawatir terhadap kepentingan orang yang
diingatkan/diberitahu,dan (c) peringatan/pemberitahuan lebih didasarkan kepada
informasi aktual, tidak hanya sekedar nilaiatau preferensi.
Penggunaan frasa awas!” dan “jangan khawatir” tidak
lagi efektif dalam rangka mendiseminasikan informasi
tentang suatu teknologi yang kompleks dan kontroversial. Ketidak-efektifan
terjadi karenasemakin disadari bahwa (a) sumber pemberi
peringatan/pemberitahuan terkadang bersandar padapengkajian teknis yang kurang
akurat, dan (b) konteks politis, ekonomis serta budaya dari difusiteknologi
baru akan mempengaruhi sumber untuk memberikan pertimbangan
nilai (value-judgment) terhadap
peringatan/pemberitahuan tersebut. Oleh karena itu, Sandman (1993)
merekomendasikanagar komunikasi risiko untuk teknologi yang kompleks dan
kontroversial harus: (a) bersifat multi-directional,
dan (b) menstimulasi debat, tidak hanya sekedar transfer pengetahuan. Kriteria
untukmengevaluasi efektivitas komunikasi risiko harus terdiri dari keterbukaan
dalam proses pengambilankeputusan dan sampai sejauh mana klaim nilai dapat
dibedakan dari klaim ilmiah yang kurang akurat/cacat. Rogers (1962) juga
memberikan argumentasi yang serupa bahwa difusi informasi mengenaiteknologi yang
kompleks dan kontroversial harus menghindarkan kelemahan-kelemahan model
jarum-hipodermik. Paradigma komunikasi risiko yang salah, yaitu menginjeksikan
pengetahuan mengenairisiko aktual kepada publik yang masih belum cukup
mendapatkan informasi, harus dihindarkan.Proses difusi harus merupakan
komunikasi dua arah antara publik dengan pihak pengembang teknologi
baru.
Komunikasi risiko merupakan suatu disiplin ilmu
terapan yang mulai berkembang sejak awal tahun1970an. Disiplin ini
mengkombinasikan kerangka teoritis psikologi, sosiologi, teori utilitas,
ilmupengambilan keputusan, pendidikan dan komunikasi. Komunikasi risiko pada
awalnya banyakdigunakan berkenaan dengan risiko/bahaya lingkungan, namun
kemudian berkembang ke bidang-bidang kesehatan, ekonomi serta isu-isu risiko
sosial lainnya. Pada waktu yang lalu, kegagalankomunikasi risiko terkadang
mengakibatkan terjadinya akselerasi kekhawatiran publik menjadisengketa
berlarut-larut antara konsumen, regulator dan industri. Outrage merupakan
terminologi yangdigunakan oleh komunikator risiko untuk menjelaskan reaksi
publik terhadap bahaya/risiko yang tidakdapat diterima (Sandman, 1987).
Sementara itu, stigma merupakan
terminologi yang digunakan untukmengindikasikan suatu risiko atau kontroversi
yang mengakibatkan terjadinya ketakutan danmempengaruhi industri secara
keseluruhan (Slovic, 2000; Flynn, 2002). Pada saat orang mencapai tahapan outrage atau stigma, pemecahan
masalah dan kompromi-kompromi menjadi semakinproblematik, dan pengambilan
keputusan menjadi semakin terpolarisasi serta mudah diperdebatkan.
Hasil-hasil penelitian dalam tiga dekade terakhir
menunjukkan bahwa besaran ketakutan ataukekhawatiran yang dirasakan publik
bergantung pada persepsi karakteristik risiko dari setiap bahayatertentu.
Beberapa jenis bahaya tertentu memang kurang dapat ditoleransi seperti yang
lainnya danseringkali tidak ada hubungannya dengan probabilitas statistik.
Secara umum, karakteristik risikosebagai determinan penting bagi publik untuk
menetapkan risiko dari suatu bahaya seringkali berkaitanerat, antara lain
dengan kemauan, pengendalian/pengawasan, fairness,
familiaritas dan dampakterhadap generasi yang akan datang (Fischhoff et al.,
2002). Paling tidak ada tiga faktor yang secarakonsisten muncul sebagai
determinan penting untuk menghindarkan kontroversi, yaitu mengenalpersepsi
publik, membuka kesempatan partisipasi publik secara dini dan berarti, serta
meraihkepercayaan publik. Strategi baru komunikasi risiko mengandung suatu
gerakan yang mendorongketerlibatan stakeholders serta
partisipasi publik dalam isu-isu pemerintah dan kebijakan, termasukvalidasi
persepsi publik mengenai risiko (Chartier and Gabler, 2001).
Menurut laporan FAO/WHO (1998), sasaran dari
komunikasi risiko diantaranya adalah:
Ø Memperbaiki
efektivitas dan efisiensi proses analisis risiko
Ø Mempromosikan
konsistensi dan transparansi dalam mengimplementasikan keputusan-keputusan
manajemen risiko
Ø Mempromosikan
kepedulian dan pemahaman isu-isu spesifik dari proses analisis risiko
Ø Memperkuat
hubungan kerja serta saling menghormati antara asesor risiko dengan
pihakmanajemen
Ø Saling tukar
menukar informasi antara pihak-pihak yang tertarik dengan analisis risiko
danmanajemen
Ø Meningkatkan
kepercayaan dan keyakinan publik terhadap analisis risiko dan manajemen
Laporan tersebut juga mempertimbangkan komunikasi
risiko sebagai bagian integral dari pengembang-an teknologi, bukan hanya
sekedar transfer pengetahuan satu arah dari ilmuwan kepada pengguna.Komunikasi
risiko juga merupakan salah satu dari tiga komponen dalam proses analisis
risiko.Penaksiran risiko (risk assessment) adalah proses yang digunakan untuk
mengestimasi danmengkarakterisasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif.
Manajemen risiko (risk management)diarahkan sebagai alat untuk menimbang dan
menseleksi berbagai opsi serta melaksanakanpengendalian/pengawasan agar dapat
menjamin suatu tingkat proteksi yang tepat. Komunikasi risikosebagai bagian
integral dari analisis risiko merupakan suatu alat yang diperlukan dan kritikal
untukmendefinisikan isu-isu, serta mengembangkan, memahami dan memutuskan
keputusan pengelolaanrisiko terbaik.
Sebelum penaksiran risiko formal dimulai, berbagai
informasi dari pihak-pihak yang berkepentingan harus
dikumpulkan untuk menyiapkan suatu profil risiko. Profil ini menguraikan masalah,
misalnya keamanan
pangan, beserta kontekstualnya dan mengidentifikasi elemen-elemen bahaya atau
risikoyang relevan dengan berbagai keputusan manajemen risiko. Hal ini
seringkali melibatkan kegiatanevaluasi risiko awal yang sangat bergantung pada
komunikasi risiko yang efektif. Karakterisasi risiko merupakan
cara utama untuk mengkomunikasikan temuan-temuan penaksiran risiko, misalnya keamanan
pangan, kepada manajer risiko dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Estimasinumerikal dalam karakterisasi harus ditunjang informasi kualitatif
mengenai sifat risiko serta bobot bukti yang
mendefinisikan dan mendukung risiko tersebut.
Hadden (2001) memberikan argumentasi bahwa publik (a)
berhak mengetahui risiko yang dihadapiserta kebijakan apa yang ada untuk mengatur
risiko tersebut, dan (b) berhak berpartisipasi dalampengkajian risiko serta
pengambilan keputusan manajemen. Elemen esensial dari komunikasi risikoadalah
fasilitasi proses identifikasi risiko serta pembebanan alternatif keputusan
oleh manajer risiko dan publik.
Dengan demikian, komunikasi risiko yang tepat adalah komunikasi risiko
interaktif.
Elemen-elemen
dari komunikasi risiko efektif
Uraian sebelumnya memberikan gambaran bahwa transmisi
pengetahuan ilmiah saja tidak cukup untukmengimplementasikan komunikasi risiko
secara efektif. Pengetahuan ilmiah jangan dianggap tidakmemiliki cacat, bebas
nilai dan tidak bias. Pengetahuan ilmiah juga jangan dipertimbangkan
sebagaikriteria tunggal untuk adopsi teknologi. Namun demikian, kebijakan
teknologi harus berdasarkan ilmupengetahuan. Oleh karena itu, walaupun bukan
satu-satunya komponen, transmisi pengetahuan ilmiahmerupakan komponen penting
dalam komunikasi risiko.
Bergantung pada apa yang akan dikomunikasikan dan
kepada siapa, pesan-pesan komunikasi risikodapat berisi informasi mengenai:
Ø Sifat dari
risiko (The nature of the risk)
1.
Karakteristik dan tingkat kepentingan dari suatu
bahaya (hazard)
2.
Besaran dan keparahan (severity)
dari suatu risiko
3.
Urgensi dari situasi tertentu
4.
Risiko tersebut cenderung semakin besar atau semakin
kecil (trends)
5.
Probabilitas dari eksposur terhadap bahaya
6.
Distribusi eksposur
7.
Jumlah
eksposur yang mengandung risiko signifikan
8.
Sifat dan ukuran populasi yang berisiko
9.
Pihak mana yang menghadapi risiko tertinggi?
Ø Sifat dari
manfaat (The nature of the benefits)
1.
Manfaat aktual dan yang diharapkan dari setiap risiko
2.
Siapa yang mendapatkan manfaat dan dengan cara
bagaimana
3.
Dimanakah titik keseimbangan antara risiko dan manfaat
4.
Besaran dan tingkat kepentingan manfaat
5.
Manfaat total yang mempengaruhi seluruh populasi
Ø Ketidak-pastian
dalam penaksiran risiko (Uncertainties in risk assessment)
1.
Metode yang digunakan untuk menaksir/mengkaji risiko
2.
Tingkat kepentingan dari setiap ketidak-pastian
3.
Kelemahan atau ketidak-akurasian dari data yang tersedia
4.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam proses estimasi
5.
Sensitivitas estimasi terhadap perubahan-perubahan
asumsi
6.
Pengaruh perubahan estimasi terhadap keputusan
manajemen risiko
Ø Opsi-opsi
manajemen risiko (Risk management options)
1.
Tindakan-tindakan yang diambil untuk mengendalikan
atau mengelola risiko
2.
Tindakan individual yang mungkin diambil untuk
mengurangi risiko personal
3.
Justifikasi dalam memilih suatu opsi manajemen risiko
yang spesifik
4.
Efektivitas dari suatu opsi yang spesifik
5.
Manfaat dari suatu opsi yang spesifik
6.
Biaya dalam mengelola risiko dan siapa yang
membayarnya
7.
Risiko-risiko yang masih tertinggal setelah suatu opsi
manajemen risiko dilaksanakan
Aspek-aspek esensial atau prinsip-prinsip dari
komunikasi risiko yang tepat seperti diuraikan dalamlaporan FAO/WHO diantaranya
adalah:
Ø Mengetahui
audiens target. Audiens
harus dianalisis sehubungan dengan upaya untukmemahami pengetahuan dan
pendapat/opini audiens berkenaan dengan teknologi baru.Mendengarkan berbagai
pihak yang terkait merupakan salah satu elemen kritikal dariaspek ini.
Ø Melibatkan
pakar atau ilmuwan. Keputusan-keputusan
kebijakan teknologi harus berlan-daskan pertimbangan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, ahli-ahli ilmu pengetahuan harusdilibatkan untuk menguraikan
pengetahuan saat ini (aktual) mengenai teknologi barusecara jelas dan ringkas.
Ø Melibatkan
keahlian tertentu di bidang komunikasi. Keberhasilan
komunikasi risiko memer-lukan keahlian dalam meneruskan informasi dengan jelas
agar mudah dipahami publik.Dalam kaitan ini, publik juga harus menunjukkan
upaya yang seimbang untuk lebihmemahami ilmu pengetahuan.
Ø Memanfaatkan
sumber informasi yang kredibel. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kredibili-tas sumber diantaranya adalah persepsi menyangkut
kompetensi dan rasa kepercayaan.Pesan-pesan yang konsisten dapat membantu
terbangunnya kredibilitas.
Ø Melakukan
“sharing” tanggung jawab. Ilmuwan,
lembaga regulator dan industri harus share tanggungjawab
dalam mengembangkan serta mengelola teknologi yang efektif dan aman.Pihak-pihak
ini juga semakin menuntut agar konsumen turut bertanggung jawab secaralebih
aktif berupaya mencari informasi mengenai pengembangan teknologi dan
pembuatankebijakan.
Ø Membedakan
antara “science” dan “value-judgment”. Komunikasi
risiko harus fokusberdasarkan kenyataan-kenyataan, bukan nilai-nilai. Namun
demikian, pendekatanterhadap komunikasi risiko ini hampir tidak mungkin, karena
mustahil suatu ilmupengetahuan bebas dari bias dan value-judgment.
Oleh karena itu, ilmuwan harus berupaya
semaksimal mungkin untuk menghapuskan value-judgmentnya
dari komunikasi risiko.
Ø Menjamin
transparansi. Dalam batas-batas tertentu
menyangkut kerahasiaan suatuteknologi, ilmuwan tetap harus membantu publik
untuk memahami proses pengembanganteknologi dan pengkajian risiko.
Ø Menempatkan
atau memposisikan risiko dalam perspektif. Risiko dan
manfaat serta proba-bilitasnya masing-masing harus diperbandingkan satu sama
lain. Namun demikian,memperbandingkan risiko ini harus dilakukan secara
hati-hati, karena pilihan risiko-risikoyang hendak diperbandingkan tersebut
mungkin saja merefleksikan bias.
Hambatan-hambatan
terhadap komunikasi risiko efektif
Ø Hambatan-hambatan
dalam proses analisis risiko:
Komunikasi memainkan peran vital selama proses
analisis risiko untuk menjamin agar strategimanajemen risiko secara efektif
dapat meminimalkan risiko yang dihadapi publik. Banyak langkah-langkah
komunikasi selama proses merupakan hal yang bersifat internal serta pertukaran
interaktif antara manajer risiko dan asesor risiko. Dua langkah kunci,
yaitu identifikasi bahaya/hazard dan seleksiopsi manajemen risiko,
memerlukan komunikasi risiko dengan semua pihak terkait untuk membantuperbaikan
transparansi pengambilan keputusan dan meningkatkan
potensi tingkat penerimaanoutcome.
1.
Kurangnya informasi yang tersediaSecara praktis,
informasi mengenai keragaan dan keberhasilan teknologi barubiasanya relatif
terbatas. Temuan baru dan kegunaan baru dari suatu teknologi dapatmemperbaiki
kekurangan yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak diantisipasi.
2.
Akses terhadap informasiInformasi vital yang
dibutuhkan untuk melaksanakan proses analisis risiko belum tentudisediakan
secara sukarela oleh yang memilikinya. Pihak industri atau swastaterkadang
memiliki informasi mengenai suatu risiko, namun tidak bersedia berbagidengan
lembaga pemerintah untuk melindungi posisi kompetitifnya, atau karenaalasan
bisnis lainnya. Di sisi lain, karena berbagai alasan, lembaga
pemerintahan mungkin juga tidak bersedia secara
terbuka mendiskusikan kenyataan atau bukti-buktimengenai risiko tertentu. Akses
penuh terhadap data relevan berkenaan dengan suaturisiko, belum tentu tersedia
disetiap situasi. Kurangnya akses terhadap data yang bersifat
kritikal mengenai risiko tertentu menyebabkan langkah-langkah
identifikasibahaya dan manajemen risiko menjadi semakin sukar.
3.
Partisipasi di dalam prosesKurangnya partisipasi
pihak-pihak terkait dalam proses analisis risiko dapat menjadihambatan penting
untuk mengkomunikasikan risiko secara efektif. Partisipasi luas didalam proses
akan memperbaiki komunikasi risiko dengan memanfaatkankesempatan untuk
mengidentifikasi dan menjawab kekhawatiran dari pihak-pihakberkepentingan, pada
saat keputusan dibuat. Partisipasi ini dapat meningkatkanpemahaman proses
secara keselu-ruhan, sehingga akan mempermudah untukmengkomunikasikan
keputusan-keputusan tersebut kepada publik.
Ø Hambatan-hambatan
berhubungan dengan human agency :
1.
Perbedaan dalam persepsi. Manusia dari segmen
masyarakat berbeda atau darimasyarakat yang memiliki orientasi nilai yang
berbeda akan memandang fakta ilmiahyang sama secara berbeda. Kekhawatiran
tentang biaya dan sudut pandang mengenaicara pengelolaan risiko yang terbaik
akan bervariasi antar individu maupun sub-populasi. Ekspos terhadap bahaya
serta komitmen untuk menganalisis risiko akanberbeda dari orang ke orang.
Efektivitas dari komunikasi risiko akan meningkat padasaat orang menjadi peduli
tentang adanya perbedaan persepsi serta alasan-alasanyang menyebabkan
terjadinya perbedaan tersebut.
2.
Perbedaan dalam reseptivitas/penerimaan. Berdasarkan
persepsi risiko yang serupa,kekhawatiran orang tentang risiko tersebut juga
akan berbeda. Sebagian orang akanmenimbang 1% peluang kegagalan suatu teknologi
sebagai sesuatu yang dapatditerima, sedangkan sebagian lain menganggap bahwa
peluang kegagalan tersebutterlalu berisiko.
3.
Kurangnya pemahaman mengenai proses ilmiah. Kebanyakan
orang yang tidakmemiliki pemahaman lengkap mengenai proses ilmiah, bukan
semata-mata karenayang bersangkutan pendidikan formalnya rendah atau
kesadarannya terhadap isu-isusosial kurang, tetapi karena ketidak-peduliannya
terhadap ilmu pengetahuan. Orangyang berpendidikan tinggipun banyak yang kurang
peduli terhadap ilmu pengetahuan.Oleh karena itu, komunikasi risiko harus
menggunakan terminologi-terminologi non-teknis untuk mengatasi hambatan-hambatan
yang berkaitan dengan ketidak-pedulian (ignorance).
Dalam hal ini, komunikasi risiko juga harus dapat memberikan edukasikepada
publik mengenai proses ilmiah atau ilmu pengetahuan.
4.
Kredibilitas sumber informasi. Kepercayaan
terhadap sumber informasi teknologi barumerupakan faktor paling penting yang
mempengaruhi opini publik. Kepercayaan iniberhubungan erat dengan persepsi
menyangkut keakhlian (expertise), akurasi dankekhawatiran berkenaan dengan
kesejahteraan masyarakat/publik. Ketidak-percayaanakan semakin meningkat
sejalan dengan kecurigaan terhadap adanya penyimpangan/bias atau konflik
kepentingan. Sekali hilang, kepercayaan ini akan sangat sukar untukdipulihkan.
5.
Efek/pengaruh media. Kebanyakan orang menerima informasi teknologi baru darimedia. Oleh karena
hanya sebagian kecil reporter yang memiliki latar belakang kuat mengenai
iptek, maka ketergatungan tinggi kepada ilmuwan untuk mempresentasikan informasi
iptek secara jelas dan singkat dengan menggunakan bahasa non-teknis
akanterjadi. Reporter disatu sisi secara etis terikat untuk mempresentasikan
informasi tersebut berdasarkan sudut pandang
yang berbeda dengan apa yang dianggap olehseorang ilmuwan sebagai kebenaran
(truth). Ilmuwan seringkali menuduh mediasebagai penyebab terjadinya
kontroversi publik yang seharusnya dapat dihindarkanseandainya media tidak
mempresentasikan pandangan-pandangan dari kelompokoposisi. Hal ini
mengimplikasikan perlunya pelatihan ketrampilan media bagikomunikator risiko
serta perlunya pelatihan iptek bagi reporter.
6.
Karakteristik-karakteristik sosial. Hambatan
bahasa, perbedaan budaya, buta huruf,hambatan geografis, diskriminasi,
eksploitasi kekuasaan dan berbagai karakteristikmasyarakat lainnya akan sangat
berpengaruh terhadap persepsi risiko, penerimaanpesan-pesan risiko, kredibilitas
sumber informasi, serta opini mengenai risiko. Olehkarena itu,
perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin dapat mempengaruhi persepsidan
efektivitas komunikasi risiko perlu diidentifikasi secara teliti.
Strategi
komunikasi risiko yang efektif
Komunikasi risiko terjadi dalam berbagai konteks yang
berbeda. Penelitian dan pengalamanmenunjukkan bahwa strategi komunikasi yang
berbeda perlu dirancang untuk konteks yang berbeda-beda tersebut. Pendekatan
sistematis yang harus dipertimbangkan pada saat mengembangkan
strategikomunikasi risiko adalah sebagai berikut:
Ø Latar
belakang/informasi
1.
Pahami dasar ilmu pengetahuan dari teknologi, risiko
dan ketidak-pastian
2.
Pahami persepsi publik mengenai risiko tersebut,
melalui survai risiko, wawancara danfokus grup
3.
Temukan dan simpulkan informasi mengenai risiko
seperti apa yang dikehendakipublik
4.
Pelihara kepekaan terhadap isu-isu terkait yang
mungkin bahkan lebih pentingdibandingkan dengan risiko itu sendiri
5.
Pelihara kepekaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam
persepsi, akses informasi,penerimaan informasi dan konteks sosial.
Ø Persiapan
1.
Hindarkan penyederhanaan perbandingan antara risiko
yang telah dikenal denganrisiko baru, karena mungkin saja keduanya tidak akurat
2.
Kenali dan tanggapi aspek-aspek emosional dari persepsi
risiko. Sandman menyata-kan bahwa risk = hazard + outrage. Hazard adalah
kajian teknis dari risik, sedangkan outrage
adalah respon emosional terhadap hazard analysis. Hazard dan outrage merupakan determinan kajian (assessment) risiko publik yang sama
pentingnya.
3.
Ekspresikan risiko ke dalam berbagai cara berbeda,
tanpa menghindarkan isu-isusentral tentang teknologi baru.
4.
Jelaskan faktor-faktor ketidak-pastian yang digunakan
dalam pengkajian risiko (risk assessment) dan penentuan standar
5.
Jaga keterbukaan, fleksibilitas dan rekognisi tanggung
jawab publik dalam semuakegiatan komunikasi
6.
Bangun kepedulian/kesadaran publik mengenai manfaat
dan risiko teknologi baru
Ø Diseminasi/distribusi
1.
Terima dan libatkan publik sebagai mitra resmi dalam
perumusan kebijakan teknologi.Uraikan informasi mengenai risiko/manfaat dan
cara-cara pengendaliannya secara jelas.
2.
Rasakan atau terima kekhawatiran publik (public’s
concern), jangan sampai ditolak/dihindarkan karena dianggap tidak penting.
3.
Diskusikan semua isu secara jujur, baik-baik dan
terbuka
4.
Jika menjelaskan data statistik yang dihasilkan dari
pengkajian risiko, jelaskan prosesdari pengkajian risiko tersebut terlebih
dahulu
5.
Koordinasi dan kolaborasi dengan sumber-sumber
informasi kredibel lainnya
6.
Penuhi kebutuhan-kebutuhan dari media
Ø Kaji ulang
dan evaluasi
1.
Evaluasi efektivitas pesan-pesan risiko dan
saluran-saluran komunikasi
2.
Berikan penekanan pada tindakan-tindakan untuk
memantau, mengelola danmengurangi risiko
3.
Buat perencanaan secara hati-hati dan lakukan evaluasi
terhadap setiap tindakan
Komunikasi
risiko berkaitan dengan keamanan pangan
Struktur analisis risiko sebagai model untuk
menetapkan standar keamanan pangan terdiri dari tigakomponen, yaitu pengkajian
risiko (risk assessment), pengelolaan
risiko (risk management) dankomunikasi risiko (risk
communication) (FAO, 1997). Setiap komponen merupakan bagian terpisahdengan
fungsi dan tanggung jawab unik, namun seperti diperlihatkan pada gambar di
bawah ini, ketigakomponen tersebut saling tumpang tindih dan berbagi area yang
sama (overlap and share commonareas). FAO (1997) menekankan pentingnya
memisahkan pengkajian risiko dengan pengelolaan risikountuk menjamin agar
proses pengkajian bersifat independen dan terbebas dari tekanan-tekanan,
sertapengambilan keputusan didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan mitos atau
faktor-faktor politis.Penekanan juga diberikan agar proses tersebut berlangsung
secara terbuka dan transparan untukmengindikasikan peranan dari komunikasi
risiko yang efektif. Paradigma baru komunikasi risikomenekankan partisipasi
dini
Stakeholders dan publik
sebagai sesuatu yang relevan dengan kontekspergerakan menuju demokratisasi
(Slovic, 2000). Keterlibatan partisipatif ini merupakan kunci untukmembangun
penerimaan dan pemahaman keputusan-keputusan kebijakan pemerintah.
Modelpartisipatif komunikasi risiko secara potensial dapat memfasilitasi proses
demokrasi dan meningkatkankeyakinan serta persetujuan terhadap
keputusan-keputusan yang dibuat (Smith and Halliwell, 1999).
Kemampuan untuk mengkomunikasikan secara efektif
risiko keamanan pangan atau risiko-risiko yangdipersepsi maupun yang diinduksi
oleh teknologi baru, merupakan komponen integral dari strategipengelolaan
risiko terpadu (Powell, 2000). Sektor pangan/makanan internasional pada saat
ini sedangmenghadapi krisis kepercayaan sejalan dengan semakin meningkatnya
kepedulian terhadap risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan
(misalnya E. coli , bovine spongiform encephalopathy –BSE, dan pangan/makanan
yang direkayasa secara genetis). Penggunaan bahan-bahan kimia dalampertanian
dan teknologi pangan lainnya, teknik manajemen serta kekhawatiran etis (ethical
concerns)semakin mendapat sorotan dan semakin dipertanyakan manfaatnya. Namun
demikian, kemampuanuntuk mengaplikasikan solusi berbasis ilmu pengetahuan akan
sangat bergantung pada isu-isu persep-si publik, regulatory
environment, kejujuran, keadilan, akuntabilitas dan kepercayaan. Pengkajian
risikoilmiah teknologi pertanian pangan harus didukung oleh pengelolaan risiko
berbasis penelitian dankegiatan-kegiatan komunikasi. Dengan demikian, konsumen,
media dan lainnya secara seimbangdapat memperoleh pengkajian berbasis ilmu
pengetahuan mengenai manfaat dan risiko suatu teknologi, serta dapat
berdampak positif terhadap pengembangan kebijakan publik. Dalam hal
ini,tantangannya adalah menggabungkan/memasukkan persepsi publik ke dalam
perumusan/pengem-bangan kebijakan tanpa meninggalkan peranan kepemimpinan ilmu
pengetahuan.
Penilaian publik terhadap risiko sangat peka terhadap banyak
faktor. Penelitian di bidang psikologitelah mengidentifikasi 47 faktor yang
berpengaruh terhadap persepsi publik mengenai risiko, termasukapakah
risiko-risiko tersebut mematikan, tidak terkontrol, menjurus ke bencana dan
tidak dapatdikompensasi oleh manfaat (Covello, 1992). Persepsi dari agen-agen
pengendali/pengawas jugamempengaruhi persepsi risiko. Diskoneksi antara cara
publik dan ilmuwan dalam mengukur risikodapat menjelaskan mengapa kekhawatiran
publik tidak selalu merefleksikan tingkat risiko yangditetapkan secara ilmiah,
bahkan pada beberapa kasus menjurus pada kesalahan persepsi tentang
risiko
yang dimaksud.
Kemajuan teknik produksi bahan-bahan
kimia berakibat langsung pada penggunaan insektisida,fungisida maupun fumigan
dalam kegiatan produksi pertanian/pangan. Keinginan untuk
meningkatkanproduktivitas dalam rangka menjawab semakin meningkatnya permintaan
pangan merupakan salahsatu kekuatan penghela penggunaan material kimiawi di
sektor pertanian. Saat ini, disampingmenyemprotkan pestisida secara eksternal,
bahan kimia alami bahkan direkayasa secara genetis kedalam tanaman. Diskusi
publik mengenai bioteknologi pertanian berkembang hampir serupa dengandiskusi
publik sebelumnya mengenai pestisida. Namun demikian, diskusi tersebut terutama
lebihmenyoroti masalah risiko vs manfaat, bukan topik diskusi yang lebih
menarik, misalnya mengenai memaksimalkan manfaat sambil
meminimalkan risiko.
Selama dekade terakhir,
informasi/pengetahuan telah banyak dihimpun untuk membantu pemahamanmengenai
persepsi publik tentang bioteknologi pertanian, bagaimana media menterjemahkan
informasiini, dan bagaimana pemerintah, industri serta organisasi-organisasi
lain dapat menghubungkaninformasi risiko
tersebut dengan berbagai disiplin ilmu. Komunikasi risiko – ilmu untuk
pemahaman risiko ilmiah dan teknologi serta
bagaimana risiko tersebut dikomunikasikan dalam suatu
struktur sosiopolitis – merupakan disiplin ilmu yang relatif baru.
Beberapa koleksi, panduan dan kaji ulangkomunikasi risiko telah dipublikasikan
dalam 15 tahun terakhir ini (Covello, Sandman, & Slovic, 1988;Covello, von
Winterfeldt, & Slovic, 1986; Hance, Chess, & Sandman, 1988; Leiss,
1989; Lundgren,1994; Morgan, 1993; Morgan, et al.,
1992; Powell, 2000; Powell & Leiss, 1997; US National ResearchCouncil,
1989).
Soby,
Simpson dan Ives (1993) dalam suatu kaji ulang penelitian komunikasi risiko dan
kegunaannyauntuk mengelola risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan,
telah mengembangkan suatukonsep siklus pengelolaan risiko. Dalam model ini,
kekhawatiran (concern) publik dan stakeholder lainnya
secara aktif disoroti di setiap tahapan pengkajian proses manajemen. Pendekatan
integratif analisis risiko ini dirancang mengikuti tahapan:
Ø Mendefinisikan
masalah dan meletakkannya dalam konteks tertentu
Ø Menganalisis
risiko yang berkaitan dengan masalah dalam konteks
Ø Memeriksa
opsi-opsi yang dapat digunakan untuk menangani risiko
Ø Mengambil
keputusan menyangkut opsi yang akan dilaksanakan
Ø Melakukan
tindakan sebagai implementasi dari keputusan yang telah diambil
Ø Melakukan
evaluasi terhadap hasil dari tindakan
Sesuatu hal
yang bersifat fundamental dari pendekatan ini adalah penggunaan komunikasi
risiko untukmengikut-sertakan stakeholders di seluruh proses. US National
Research Council mendefinisikankomunikasi risiko sebagai suatu proses
interaktif dari pertukaran informasi dan opini antara individu, kelompok
serta institusi. Penelitian terakhir mengenai pengelolaan risiko dan komunikasi mengindikasikan
bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan risiko keamanan pangan harus
sungguh-sungguh memperlihatkan upayanya untuk mengurangi, meringankan atau meminimalkan
risiko tertentu. Pihak-pihak bertanggung jawab ini harus dapat
mengkomunikasikan upayanya
secara efektif dan membuktikan bahwa upaya-upaya tersebut secara aktual dapat mengurangi
tingkat risiko. Kondisi pada saat ini yang menyangkut ketidak-percayaan
terhadap regulatory
agencies dan
industri, terutama di Eropa, membuat komunikasi risiko tidak saja
semakinmenantang, tetapi juga menjadi semakin penting.
Peliputan
media mengenai pangan/makanan yang direkayasa secara genetik (dan bioteknologi
secara umum)
seringkali dipolarisasi menjadi: keamanan vs risiko; ilmu pengetahuan yang
semakinberkembang vs ilmu pengetahuan yang tidak terkontrol; kebersaingan vs
keamanan (Powell and Leiss,1997). Film dan novel telah sejak lama menjejali
publik dengan citra ilmu pengetahuan yang lepaskendali/tidak terkontrol. Pada
saat hal ini juga dibarengi dengan tendensi masyarakat Barat yangmenetapkan
ekspektasi tidak realistis terhadap suatu teknologi, maka terciptalah
lingkungan idealuntuk berkembangnya ketakutan/keprihatinan publik. Sampai tahun
1994, pada saat rBST dan produk bioteknologi
lainnya muncul di USA, banyak laporan yang menuliskan tentang ilmu pengetahuan
yangtidak terkontrol (out of control). Kondisi ini diperhebat dengan munculnya
film Jurassic
Park pada tahun1993 yang menceritakan teknologi rekombinan DNA sebagai
salah satu kegagalan ilmu pengetahuanyang membahayakan masyarakat.
Cerita-cerita lain seperti: Research
Skewed: Bioengineered Food Serves Corporate, Not Public, Needs (Dubey,
1993); Science Is
Playing With Our Food (Murray, 1993); Invasion Of
The Mutant Tomatoes (Powell, 1992); dan Genetics
Expert Fears Mutant Monsters (1993); telah
memberikan banyak bahan/material untuk editorial kartun yang sebagian besar
diturunkan ataudiadaptasi dari metaphor Frankenstein.
Analisis
media merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memahami formasi
opini publik – melihat apa yang dikatakan orang dan apa yang telah
diceritakan kepada mereka. Penelitian sebelumnya
telah mendemonstrasikan bahwa konsumen di Amerika Utara banyak menerima
informasiilmu pengetahuan dari media (Powell & Griffiths, 1994; Consumers
Association of Canada, 1990;Nelkin, 1987). Kebergantungan terhadap media ini
dapat membantu pendefinisian rasa publikmengenai realitas (public’s sense of
reality) dan persepsi publik mengenai risiko maupun manfaat.Media tidak hanya
merefleksikan persepsi publik mengenai suatu isu
tertentu, tetapi juga membentukpersepsi publik dengan menceritakan kepada masyarakat
mengenai apa yang harus dipikirkan.Dengan
demikian, cara-cara yang digunakan media untuk menggambarkan
isu-isu sekitar bioteknologipertanian dan keamanan pangan dapat mempengaruhi
persepsi konsumen. Bagaimana hal ini dapatditerjemahkan ke perilaku konsumen
masih belum ada informasi yang jelas, bahkan cenderung lebihkontroversial.
Walaupun demikian, secara umum disepakati bahwa pengaruh pesan-pesan media
akansangat bergantung pada konteks sosial dan budaya masyarakat yang menerima
pesan tersebut.
Hal yang
paling mengkhawatirkan adalah terjadinya diskusi publik mengenai bioteknologi
pertanianyang cenderung mengikuti jejak adopsi secara luas input produksi
kimiawi setelah Perang Dunia II,dimana pendukungnya menganjurkan edukasi yang
lebih baik, sedangkan kritikusnya mencemoohkannilai kegiatan pertanian
produktivitas tinggi. Diskusi lebih terfokus pada pembicaraan risiko vs
manfaat,bukan pada topik diskusi yang lebih mengarah pada memaksimalkan manfaat
dan meminimalkan risiko.
Dalam merespon
kontroversi risiko publik (seperti bioteknologi pertanian), politikus,
eksekutif perusahaan dan akademisi mendorong masyarakat agar memperoleh
edukasi/pendidikan yang lebihbaik berkenaan dengan hal-hal yang bersifat
ilmiah. Hal ini diarahkan untuk mengatasi ketakutan/kekhawatiran publik yang
merupakan salah satu hambatan kemajuan. Strategi retorikal seperti ini
telahsering disarankan oleh promotor teknologi di dalam diskusi-diskusi
mengenai risiko teknologi sejak 200tahun yang lalu. Promotor bahan-bahan kimia
pertanian pada tahun 1960an serta promotor enerji nuklir pada tahun 1970an
juga telah memanfaatkan model pendidikan publik (public education model) dan gagal.
Hasil survai
berulang-ulang menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih peduli tentang bioteknologidan
berpendapat bahwa bioteknologi akan lebih menawarkan manfaat, juga berpendapat
bahwabioteknologi tersebut lebih menimbulkan risiko bahaya (Angus Reid Group
Inc., 1999; Environics, 2000;Frewer, Howard, & Shepherd, 1995; Hoban,
1997). Dugaan bahwa peningkatan/penguatan pendidikansecara otomatis dapat
meningkatkan penerimaan terhadap bioteknologi ternyata tidak tergambarkan dari hasil
survai. Pendapat alternatif lainnya menyatakan bahwa mereka yang memiliki latar
belakangpendidikan lebih baik akan dapat secara lebih kritis mengkaji risiko
dan manfaat suatu teknologi baru,seperti bioteknologi. Dalam alam demokrasi,
pemilih (voters) secara rutin akan membuat keputusanmengenai
kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak mereka miliki detil pemahaman akademisnya.Konsumen
akan terus membuat keputusan mengenai bioteknologi, terlepas apakah mereka
memilikilatar belakang pendidikan yang baik atau tidak.
Beberapa survai di Amerika Utara dan Inggris menemukan
bahwa kepercayaan terhadap regulasipemerintah (dan industri) berkenaan dengan
pestisida (Dittus and Hillers, 1993), maupun produkbioteknologi (Frewer et al.,
1995) merupakan prediktor paling kuat untuk dukungan konsumen. Orang dapat
menaruh kepercayaan atau tidak mempercayai bahwa pestisida dan produk bioteknologi
telahcukup diatur oleh pemerintah. Mereka yang memiliki kepercayaan rendah akan
sangat khawatir mengenai kemungkinan risiko bahaya, sedangkan mereka yang
menaruh kepercayaan tinggi akanmempersepsi adanya manfaat tinggi dari kedua
jenis produk tersebut. Secara singkat, kepercayaankepada pemerintah dan
industri mungkin berpengaruh lebih penting terhadap persepsi risiko dibandingkan
dengan keamanan atau bahaya yang sebenarnya melekat (inherent) pada
produkpestisida atau bioteknologi tertentu.
Konsumen memerlukan informasi berasal dari sumber
terpercaya yang dapat menjelaskan mengenairisiko serta langkah-langkah yang
dapat ditempuh untuk menangani risiko tersebut, disamping aspekkeamanan dan
manfaat dari teknologi bersangkutan. Sebagai contoh, untuk orang Kanada,
sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk makanan, kesehatan dan
isu-isu pertanian adalahkelompok konsumen, kelompok tani dan organisasi nirlaba
(Ipsos-Reid, 2001). Penelitian
lainnyamengindikasikan kredibilitas yang tinggi bagi ilmuwan independen
(berafiliasi dengan universitas ataulembaga penelitian publik) dan profesional
kesehatan (Earnscliffe Research and Communication,2001).
Produsen harus tetap konsisten dalam menerapkan praktek
pengelolaan yang baik (good
management practices) dan mengkomunikasikannya. Konsumen
menginginkan informasi yang jujur mengenai sifatrisiko tertentu.
Program-program pengelolaan risiko yang bersifat producer-led
merupakan strategi pengelolaan
risiko yang tepat untuk mendemonstrasikan bahwa produsen peduli
terhadapkekhawatiran konsumen mengenai keamanan pangan dan bioteknologi
pertanian. Bekerjasamadengan media dan mengkomunikasikan program tersebut
secara dini dapat menguatkan persepsikepercayaan.
Dalam suatu penelitian mengenai penerimaan konsumen
terhadap tanaman pangan yang dimodifikasisecara genetik di Ontario, Kanada,
jagung manis Bt dan kentang Bt (Bacillus thuringiensis) yang direkayasa
secara genetik, ditanam berdampingan dengan varietas konvensional. Jagung manis
Btmaupun kentang Bt tidak membutuhkan insektisida. Panen jagung dan kentang
dipisahkan dan diberilabel, kemudian uji konsumen langsung dilakukan untuk
mempelajari preferensi pembelian. Secarakeseluruhan, penjualan jagung manis Bt
(680 lusin) ternyata mengalahkan penjualan jagung manisreguler (452,5 lusin).
Survai konsumen mengindikasikan bahwa pengurangan penggunaan pestisidadan
perbaikan rasa serta kualitas mempengaruhi keputusan pembelian jagung manis Bt
(Powell et al.,2002). Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa konsumen
dapat menangani pesan-pesanmengenai risiko. Jagung manis secara jelas diberi
label hasil rekayasa genetik, dan latar belakanginformasi mengenai arti
rekayasa genetik juga diberikan. Mayoritas konsumen setelah membacainformasi
tersebut ternyata memilih untuk membeli jagung manis yang direkayasa secara
genetik.Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan risiko yang satu
dengan risiko lainnya(pestisida vs bioteknologi), tetapi untuk mengenali
kekhawatiran-kekhawatiran yang terjadi dimasyarakat dan memberikan informasi
secara terbuka mengenai apa yang dikehendaki konsumen.
Penutup
Beberapa pertimbangan penting untuk komunikasi risiko
(misalnya untuk keamanan pangan) di masadepan adalah sebagai berikut:
Ø Publik atau
konsumen dibagi ke dalam banyak segmen-segmen yang berbeda danmenunjukkan
tingkat upaya pencarian informasi yang berbeda-beda pula. Komunikasi
risikoefektif untuk populasi besar yang heterogen sangat sukar dilaksanakan,
bahkan cenderungtidak mungkin
Ø Strategi
komunikasi risiko dengan target yang jelas sangat diperlukan untuk
segmen-segmen yang berbeda. Kegiatan identifikasi harus ditempuh untuk
menentukan kelompokspesifik yang berisiko (at risk)
Ø Kelengkapan/ketersediaan
informasi tidak selalu menjamin terjadinya perubahan perilaku.Upaya untuk mempromosikan
perubahan perilaku keamanan pangan mungkin lebih sulitdibandingkan dengan
mempromosikan perubahan diet.
Ø Pendidikan
mengenai keamanan pangan pada usia dini (melalui kurikulum sekolah)
sangatdianjurkan
Ø Kepercayaan
merupakan sesuatu yang sangat kompleks serta lebih bergantung pada
faktor-faktor sosial dan kelembagaan, dibandingkan dengan persepsi risiko
individual
Ø Tindakan-tindakan
yang diambil untuk memperbaiki keamanan pangan secara positif telahmempengaruhi
tingkat kepercayaan konsumen
Ø Pendekatan
baru untuk komunikasi risiko, khususnya peningkatan transparansi
danketerlibatan publik, juga mengandung kelemahan. Hal ini mengimplikasikan
perlunya upayaperbaikan secara terus menerus
Ø Konsumen di
masa depan tidak hanya akan memberikan perhatian terhadap keamananpangan,
tetapi juga akan menyoroti masalah nutrisi, kualitas pangan dan isu-isu etikal.
Pustaka
ü Angus Reid
Group Inc. 1999. International awareness and perceptions of genetically
modified foods.The Economist/Angus Reid Poll, 1-5.
ü Chartier, J.
& Gabler, S. 2001. Risk communication and government: theory and
application for theCanadian Food Inspection Agency. Chapter 2: Theoretical
aspects of risk communication. Available at
http://www.inspection.gc.ca/englishcorpaffr/publications/ riscomm/ricomm/ch2e.shtml.
Accessed end of 2002.
ü Consumers.
Association of Canada. 1990. Food safety in Canada. Ottawa: Consumers.
Association of Canada.
ü Covello,
V.T. 1992. Risk communication: An emerging area of health communication
research. In S.Deetz, Communication Yearbook (15th ed., pp. 359-373). Newbury
Park: Sage Publications.
ü Covello,
V.T., Sandman, P., and Slovic P. 1988. Risk communication, risk statistics and
riskcomparisons: A Manual for plant managers. Washington, DC: Chemical
Manufacturers Association.Covello, V.T., von Winterfeldt, D., and Slovic,
P. 1986. Risk communication: A review of the literature.Risk Abstracts, 3,
171-182.
ü Dittus, K.L.
and Hillers, V.N. 1993. Consumer trust and behavior related to pesticides.
FoodTechnology, 477, 87-89.
ü Dubey, A. 1993,
May 29. Research skewed. Kitchener-Waterloo Record, p. A7.
ü Earnscliffe
Research and Communications. 2001. Presentation to the CFIA consultation on
plantmolecular farming. Ottawa, Canada. November 1.
ü Environics.
2000, July. Risk/benefit perceptions of biotechnology products (Final Report
Pn4593).Prepared for Health Canada.
ü FAO. 1997.
Risk management and food safety. Report of a Joint FAO/WHO
Consultation. FAO Foodand Nutrition Paper No. 65. Rome. 27 pp. Available at http://www.fao.org/docrep/W4982E/W4982E00.htm.
ü FAO/WHO.
1998. The application of risk communication to food standards and safety
matters. Reportof a Joint FAO/WHO Expert Consultation. FAO Food and Nutrition
Paper No. 70. Rome. 46 pp.
ü Fischhoff,
B., Slovic, P., Lichtenstein, S. & Combs, B. 2002. How safe is safe enough?
A psychometricstudy of attitudes toward technological risks and benefits. In P.
Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan Publications. 474
pp.
ü Flynn, J.
2002. Nuclear stigma: notes on the social history of radiation. Report to the
U.S. Departmentof Energy Low Dose Radiation Research Program. Available at http://www.decisionresearch.org/Projects/Low_Dose/research_reports.html.
ü Frewer, L.,
Howard, C., and Shepherd, R. 1995. Genetic engineering and food: What
determinesconsumer acceptance? British Food Journal, 97, 31-36.
ü Genetics
expert fears mutant monsters. 1993, March 24. Kitchener-Waterloo Record, p. A3.
ü Greenpeace.
2001. Fishtomato.com. Available on the World Wide Web: http://www.fishtomato.com/.
ü Hadden, S.G.
2001. A citizen’s right to know: Risk communication and public policy. Battelle
Press.
ü Hance, B.J.,
Chess, C., and Sandman, P.M. 1988. Improving dialogue with communities: A
Riskcommunication manual for government. New Brunswick, NJ: Rutgers University
EnvironmentalCommunication Research Program.
ü Hoban, T.J.
1997. Consumer acceptance of biotechnology: An International perspective.
NatureBiotechnology, 15, 232-234.
ü Ipsos-Reid.
2001, March. New thoughts for food: Consumer perceptions and attitudes toward
foods(Final Report). Wave 1, Winnipeg, Manitoba.
ü Leiss, W.
1989. Prospects and problems in risk communication. Waterloo, Ontario:
University of Waterloo Press.
ü Lundgren, R.
1994. Risk comunication: A Handbook for communicating environmental, safety
andhealth risks. Battelle Press: Columbus, Ohio.
ü Morgan, M.G.
1993, July. Risk analysis and management. Scientific American, 32-41.
ü Morgan,
G.M., Fischhoff, B., Bostrom, A., Lave, L., and Atman, C.J. 1992. Communicating
risk to thepublic. Environmental Science & Technology, 26, 2048-2056.
ü Murray, M.
1993, May 11. How to build a better potato chip. Toronto Star, p. A1.
ü Nelkin, D.
1987. Selling science: How the press covers science and technology. New York:
W.H.Freeman and Company.
ü Powell, D.A.
2000. Food safety and the consumer.perils of poor risk communication. Canadian
Journalof Animal Science, 80(3), 393-404.
ü Powell, D.A.
1992, September 12. Invasion of the mutant tomatoes. Globe and Mail, p. D8.
ü Powell,
D.A., Blaine, K., Morris, S., and Wilson, J. 2002. A comparative analysis of
the agronomic,economic and consumer considerations regarding genetically
engineered Bt and conventionalsweet corn and table potatoes on a commercial
fruit and vegetable farm in Ontario, Canada.Manuscript submitted for
publication.
ü Powell, D.A.
and Griffiths, M.W. 1994, June. Public perceptions of agricultural
biotechnology in Canada.Paper presented at annual meeting of the Institute of
Food Technologists, Atlanta, GA.
ü Powell, D.A.
and Leiss, W. 1997. Mad cows and mother.s milk: The Perils of poor risk
communication.McGill-Queen's University Press.Sandman, P. 1987. Risk
communication: facing public outrage. EPA Journal. Nov., pp. 21-22. Available at http://www.psandman.com/articles/facing.html.
ü Sandman, P.
1993. Responding to community outrage: Strategies for effective risk
communication. American Industrial Hygiene Association.
ü Slovic, P.
2000. Trust, emotion, sex, politics and science: surveying the risk-assessment
battlefield. InP. Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan
Publications. 474 pp.
ü Smith,W.
& Halliwell, J. 1999. Principles and practices for using scientific advice
in government decisionmaking; international best practices. Ottawa, Canada,
Report to the S & T Strategy Directorate,Industry Canada. Available at http://csta-cest.gc.ca/pdf/bestprac1_e.pdf.
ü Soby, B.A.,
Simpson, A.C.D., and Ives, D.P. 1993. Integrating public and scientific
judgements into atool kit for managing food-related risks, stage 1: Literature
review and feasibility study (ERAUResearch Report No. 16). Report to the UK
Ministry of Agriculture, Fisheries and Food.Norwich, UK: University of East
Anglia.
ü United
States National Research Council. 1989. Improving risk communication.
Washington, DC:National Academy Press Committee on Risk Perception and
Communication.
No comments:
Post a Comment