Translate

Monday, April 30, 2012

Komunikasi Risiko

 

KOMUNIKASI RISIKO SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN STRUKTUR ANALISIS RISIKO


Apakah yang disebut risiko?

Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak atau kurang menyenangkan, misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai probabilitas dari suatu kejadian yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi dari kejadian kejadian tersebut sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk assessment). Risiko seringpula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus melibatkan konflik persepsi dansudut pandang. Persepsi publik tentang risiko terkadang memainkan peranan penting, sebagaimana pandangan para pakar dalam debat mengenai teknologi baru, misalnya isu tanaman transgenik.

Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian hasil (outcome), baik berupa oportunitas positif atau ancaman negatif, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari kemungkinan dan pengaruh/impak, termasuk persepsi kepentingan. Sebagian besar kebijakan pemerintah pada dasarnya melibatkan penanganan atau pengalihan risiko kepada publik. Risiko tertentu dapat bersifat lebih signifikan pada konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang berbeda. Eliminasi semua risiko merupakan hal yang mustahil, sehingga keputusan yang sulit sebenarnya adalah menentukan risiko mana yang sebenarnya masih dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan suatu ancaman potensial seharusnya juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana agar lebih siap menghadapi jika insiden tersebut terjadi.

Jenis-jenis risiko seperti apakah yang dihadapi publik?

Pemahaman mengenai bagaimana risiko mempengaruhi publik dapat membantu proses identifikasi risiko. Risiko dapat dibedakan dari cara-cara pandang berikut ini:
Ø  Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sumber risiko, misalnya pada saat melakukan kegiatan olahraga atau bepergian dengan menggunakan mobil
Ø  Berhubungan dengan ancaman/bencana, misalnya kabel terbuka bermuatan listrik atau adanya organisme penyebab penyakit
Ø  Berhubungan dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas berisiko atau terekspos kepada ancaman/bencana, misalnya kecelakaan atau sakit
Ø  Berhubungan dengan konsekuensi dari suatu kejadian, misalnya cedera, gangguan kesehatanatau kerugian finansial

Beberapa contoh kejadian-kejadian berisiko: (a) kejadian alami, misalnya banjir, cuaca dingin; (b)kecelakaan, misalnya kecelakaan jalan raya, kebocoran atau pencemaran bahan kimia; (c) penyakitatau infeksi; (d) politis, misalnya perang, terorisme; (e) kriminal, misalnya kekerasan, pencurian,penipuan; (f) kejadian ekonomi, misalnya resesi; dan (g) polusi atau kemusnahan/destruksi habitat

Sementara itu, beberapa contoh kemungkinan konsekuensi dari kejadian berisiko diantaranya adalah:(a) kematian, (b) cedera, (c) sakit, (d) kehilangan atau kerusakan properti, (e) kerugian finansial, (f) kehilangan kesempatan meraih sumber pendapatan potensial, (g) kehilangan waktu, (h) kerusakanlingkungan, dan (i) derita/tekanan emosional.
Timbulnya jenis jenis risiko tertentu dapat menyebabkan kekhawatiran publik yang serius, terutama jikamengandung ketidak-pastian berkenaan dengan outcomenya. Kekhawatiran publik tersebut jika tidakditangani secara cepat dan efektif dapat berekskalasi menjadi krisis.

Mengapa komunikasi yang baik menjadi penting dalam menghadapi risiko?

Berdasarkan asumsi proses komunikasi dua arah, komunikasi dengan publik dapat membantu pena-nganan risiko secara lebih efektif, yaitu:
Ø  Membantu untuk mencegah berkembangnya krisis
Ø  Membantu pengambilan keputusan yang lebih baik dalam menangani risiko
Ø  Membantu untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan penanganan risiko
Ø  Membantu untuk memberdayakan dan meyakinkan publik
Ø  Membantu untuk membangun kepercayaan publik

Mengapa mengkomunikasikan tentang risiko menjadi semakin penting?

Mengkomunikasikan risiko kepada publik menjadi isu yang semakin penting, terutama bagi pihak pemerintah. Beberapa alasan yang melatar-belakangi kepentingan ini diantaranya adalah:
Ø  Sifat risiko cenderung menjadi semakin kompleks dan semakin tidak pasti. Kecepatanperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengarah pada kekhawatiran barumengenai manufactured risiko yang seringkali sukar dibuktikan. Sejalan dengan keadaandunia yang semakin interconnected dan interdependent, maka probabilitas seseorangterekspos pada risiko yang dahulunya tidak mungkin, menjadi semakin tinggi.
Ø  Perilaku publik terhadap risiko maupun pemerintah telah berubah. Rasa skeptis yangsemakin tinggi terhadap institusi, kekhawatiran terhadap risiko yang semakin meningkat,serta akses terhadap informasi yang semakin luas, telah menempatkan pemerintah padaposisi yang semakin menjadi sorotan publik. Hal ini mengimplikasikan bahwa pemerintahharus bekerja lebih keras dan beroperasi secara lebih transparan untuk menjaga keperca-yaan publik berkaitan dengan informasi yang disebarkan.
Ø  Berbagai kasus mutakhir, misalnya mengenai tanaman transgenik, memberikan gambaranbahwa pengkomunikasian risiko kepada publik harus lebih didasarkan pada bukti, lebihterbuka dan dilakukan secara partisipatif.

Prinsip-prinsip panduan komunikasi risiko

Sandman (1993) mengemukakan bahwa perkataan “awas!” dan “jangan khawatir” merupakan duafrasa yang sering digunakan untuk: (a) mengingatkan orang lain akan adanya potensi bahaya, dan (b)memberitahu orang lain bahwa tidak perlu terlalu khawatir terhadap potensi bahaya tersebut.Komunikasi risiko seperti di atas pada dasarnya merupakan proses komunikasi satu arah yangmengasumsikan: (a) orang yang mengingatkan/memberitahu memiliki pengetahuan lebih mengenairisiko dimaksud dibandingkan dengan orang yang diingatkan/diberitahu, (b) orang yang mengingatkan/memberitahu sangat memperhatikan/khawatir terhadap kepentingan orang yang diingatkan/diberitahu,dan (c) peringatan/pemberitahuan lebih didasarkan kepada informasi aktual, tidak hanya sekedar nilaiatau preferensi.

Penggunaan frasa awas!” dan “jangan khawatir” tidak lagi efektif dalam rangka mendiseminasikan informasi tentang suatu teknologi yang kompleks dan kontroversial. Ketidak-efektifan terjadi karenasemakin disadari bahwa (a) sumber pemberi peringatan/pemberitahuan terkadang bersandar padapengkajian teknis yang kurang akurat, dan (b) konteks politis, ekonomis serta budaya dari difusiteknologi baru akan mempengaruhi sumber untuk memberikan pertimbangan nilai (value-judgment) terhadap peringatan/pemberitahuan tersebut. Oleh karena itu, Sandman (1993) merekomendasikanagar komunikasi risiko untuk teknologi yang kompleks dan kontroversial harus: (a) bersifat multi-directional, dan (b) menstimulasi debat, tidak hanya sekedar transfer pengetahuan. Kriteria untukmengevaluasi efektivitas komunikasi risiko harus terdiri dari keterbukaan dalam proses pengambilankeputusan dan sampai sejauh mana klaim nilai dapat dibedakan dari klaim ilmiah yang kurang akurat/cacat. Rogers (1962) juga memberikan argumentasi yang serupa bahwa difusi informasi mengenaiteknologi yang kompleks dan kontroversial harus menghindarkan kelemahan-kelemahan model jarum-hipodermik. Paradigma komunikasi risiko yang salah, yaitu menginjeksikan pengetahuan mengenairisiko aktual kepada publik yang masih belum cukup mendapatkan informasi, harus dihindarkan.Proses difusi harus merupakan komunikasi dua arah antara publik dengan pihak pengembang teknologi baru.

Komunikasi risiko merupakan suatu disiplin ilmu terapan yang mulai berkembang sejak awal tahun1970an. Disiplin ini mengkombinasikan kerangka teoritis psikologi, sosiologi, teori utilitas, ilmupengambilan keputusan, pendidikan dan komunikasi. Komunikasi risiko pada awalnya banyakdigunakan berkenaan dengan risiko/bahaya lingkungan, namun kemudian berkembang ke bidang-bidang kesehatan, ekonomi serta isu-isu risiko sosial lainnya. Pada waktu yang lalu, kegagalankomunikasi risiko terkadang mengakibatkan terjadinya akselerasi kekhawatiran publik menjadisengketa berlarut-larut antara konsumen, regulator dan industri. Outrage merupakan terminologi yangdigunakan oleh komunikator risiko untuk menjelaskan reaksi publik terhadap bahaya/risiko yang tidakdapat diterima (Sandman, 1987). Sementara itu, stigma merupakan terminologi yang digunakan untukmengindikasikan suatu risiko atau kontroversi yang mengakibatkan terjadinya ketakutan danmempengaruhi industri secara keseluruhan (Slovic, 2000; Flynn, 2002). Pada saat orang mencapai tahapan  outrage atau stigma, pemecahan masalah dan kompromi-kompromi menjadi semakinproblematik, dan pengambilan keputusan menjadi semakin terpolarisasi serta mudah diperdebatkan.

Hasil-hasil penelitian dalam tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa besaran ketakutan ataukekhawatiran yang dirasakan publik bergantung pada persepsi karakteristik risiko dari setiap bahayatertentu. Beberapa jenis bahaya tertentu memang kurang dapat ditoleransi seperti yang lainnya danseringkali tidak ada hubungannya dengan probabilitas statistik. Secara umum, karakteristik risikosebagai determinan penting bagi publik untuk menetapkan risiko dari suatu bahaya seringkali berkaitanerat, antara lain dengan kemauan, pengendalian/pengawasan, fairness, familiaritas dan dampakterhadap generasi yang akan datang (Fischhoff et al., 2002). Paling tidak ada tiga faktor yang secarakonsisten muncul sebagai determinan penting untuk menghindarkan kontroversi, yaitu mengenalpersepsi publik, membuka kesempatan partisipasi publik secara dini dan berarti, serta meraihkepercayaan publik. Strategi baru komunikasi risiko mengandung suatu gerakan yang mendorongketerlibatan stakeholders serta partisipasi publik dalam isu-isu pemerintah dan kebijakan, termasukvalidasi persepsi publik mengenai risiko (Chartier and Gabler, 2001).

Menurut laporan FAO/WHO (1998), sasaran dari komunikasi risiko diantaranya adalah:
Ø  Memperbaiki efektivitas dan efisiensi proses analisis risiko
Ø  Mempromosikan konsistensi dan transparansi dalam mengimplementasikan keputusan-keputusan manajemen risiko
Ø  Mempromosikan kepedulian dan pemahaman isu-isu spesifik dari proses analisis risiko
Ø  Memperkuat hubungan kerja serta saling menghormati antara asesor risiko dengan pihakmanajemen
Ø  Saling tukar menukar informasi antara pihak-pihak yang tertarik dengan analisis risiko danmanajemen
Ø  Meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap analisis risiko dan manajemen

Laporan tersebut juga mempertimbangkan komunikasi risiko sebagai bagian integral dari pengembang-an teknologi, bukan hanya sekedar transfer pengetahuan satu arah dari ilmuwan kepada pengguna.Komunikasi risiko juga merupakan salah satu dari tiga komponen dalam proses analisis risiko.Penaksiran risiko (risk assessment) adalah proses yang digunakan untuk mengestimasi danmengkarakterisasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Manajemen risiko (risk management)diarahkan sebagai alat untuk menimbang dan menseleksi berbagai opsi serta melaksanakanpengendalian/pengawasan agar dapat menjamin suatu tingkat proteksi yang tepat. Komunikasi risikosebagai bagian integral dari analisis risiko merupakan suatu alat yang diperlukan dan kritikal untukmendefinisikan isu-isu, serta mengembangkan, memahami dan memutuskan keputusan pengelolaanrisiko terbaik.

Sebelum penaksiran risiko formal dimulai, berbagai informasi dari pihak-pihak yang berkepentingan harus dikumpulkan untuk menyiapkan suatu profil risiko. Profil ini menguraikan masalah, misalnya keamanan pangan, beserta kontekstualnya dan mengidentifikasi elemen-elemen bahaya atau risikoyang relevan dengan berbagai keputusan manajemen risiko. Hal ini seringkali melibatkan kegiatanevaluasi risiko awal yang sangat bergantung pada komunikasi risiko yang efektif. Karakterisasi risiko merupakan cara utama untuk mengkomunikasikan temuan-temuan penaksiran risiko, misalnya keamanan pangan, kepada manajer risiko dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Estimasinumerikal dalam karakterisasi harus ditunjang informasi kualitatif mengenai sifat risiko serta bobot bukti yang mendefinisikan dan mendukung risiko tersebut.

Hadden (2001) memberikan argumentasi bahwa publik (a) berhak mengetahui risiko yang dihadapiserta kebijakan apa yang ada untuk mengatur risiko tersebut, dan (b) berhak berpartisipasi dalampengkajian risiko serta pengambilan keputusan manajemen. Elemen esensial dari komunikasi risikoadalah fasilitasi proses identifikasi risiko serta pembebanan alternatif keputusan oleh manajer risiko dan publik. Dengan demikian, komunikasi risiko yang tepat adalah komunikasi risiko interaktif.

Elemen-elemen dari komunikasi risiko efektif 

Uraian sebelumnya memberikan gambaran bahwa transmisi pengetahuan ilmiah saja tidak cukup untukmengimplementasikan komunikasi risiko secara efektif. Pengetahuan ilmiah jangan dianggap tidakmemiliki cacat, bebas nilai dan tidak bias. Pengetahuan ilmiah juga jangan dipertimbangkan sebagaikriteria tunggal untuk adopsi teknologi. Namun demikian, kebijakan teknologi harus berdasarkan ilmupengetahuan. Oleh karena itu, walaupun bukan satu-satunya komponen, transmisi pengetahuan ilmiahmerupakan komponen penting dalam komunikasi risiko.

Bergantung pada apa yang akan dikomunikasikan dan kepada siapa, pesan-pesan komunikasi risikodapat berisi informasi mengenai:
Ø  Sifat dari risiko (The nature of the risk)
1.      Karakteristik dan tingkat kepentingan dari suatu bahaya (hazard)
2.      Besaran dan keparahan (severity) dari suatu risiko
3.      Urgensi dari situasi tertentu
4.      Risiko tersebut cenderung semakin besar atau semakin kecil (trends)
5.      Probabilitas dari eksposur terhadap bahaya
6.      Distribusi eksposur 
7.      Jumlah eksposur yang mengandung risiko signifikan
8.      Sifat dan ukuran populasi yang berisiko
9.      Pihak mana yang menghadapi risiko tertinggi?
Ø  Sifat dari manfaat (The nature of the benefits)
1.      Manfaat aktual dan yang diharapkan dari setiap risiko
2.      Siapa yang mendapatkan manfaat dan dengan cara bagaimana
3.      Dimanakah titik keseimbangan antara risiko dan manfaat
4.      Besaran dan tingkat kepentingan manfaat
5.      Manfaat total yang mempengaruhi seluruh populasi
Ø  Ketidak-pastian dalam penaksiran risiko (Uncertainties in risk assessment)
1.      Metode yang digunakan untuk menaksir/mengkaji risiko
2.      Tingkat kepentingan dari setiap ketidak-pastian
3.      Kelemahan atau ketidak-akurasian dari data yang tersedia
4.      Asumsi-asumsi yang digunakan dalam proses estimasi
5.      Sensitivitas estimasi terhadap perubahan-perubahan asumsi
6.      Pengaruh perubahan estimasi terhadap keputusan manajemen risiko
Ø  Opsi-opsi manajemen risiko (Risk management options)
1.      Tindakan-tindakan yang diambil untuk mengendalikan atau mengelola risiko
2.      Tindakan individual yang mungkin diambil untuk mengurangi risiko personal
3.      Justifikasi dalam memilih suatu opsi manajemen risiko yang spesifik
4.      Efektivitas dari suatu opsi yang spesifik
5.      Manfaat dari suatu opsi yang spesifik
6.      Biaya dalam mengelola risiko dan siapa yang membayarnya
7.      Risiko-risiko yang masih tertinggal setelah suatu opsi manajemen risiko dilaksanakan 

Aspek-aspek esensial atau prinsip-prinsip dari komunikasi risiko yang tepat seperti diuraikan dalamlaporan FAO/WHO diantaranya adalah:
Ø  Mengetahui audiens target. Audiens harus dianalisis sehubungan dengan upaya untukmemahami pengetahuan dan pendapat/opini audiens berkenaan dengan teknologi baru.Mendengarkan berbagai pihak yang terkait merupakan salah satu elemen kritikal dariaspek ini.
Ø  Melibatkan pakar atau ilmuwan. Keputusan-keputusan kebijakan teknologi harus berlan-daskan pertimbangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ahli-ahli ilmu pengetahuan harusdilibatkan untuk menguraikan pengetahuan saat ini (aktual) mengenai teknologi barusecara jelas dan ringkas.
Ø  Melibatkan keahlian tertentu di bidang komunikasi. Keberhasilan komunikasi risiko memer-lukan keahlian dalam meneruskan informasi dengan jelas agar mudah dipahami publik.Dalam kaitan ini, publik juga harus menunjukkan upaya yang seimbang untuk lebihmemahami ilmu pengetahuan.
Ø  Memanfaatkan sumber informasi yang kredibel. Faktor-faktor yang mempengaruhi kredibili-tas sumber diantaranya adalah persepsi menyangkut kompetensi dan rasa kepercayaan.Pesan-pesan yang konsisten dapat membantu terbangunnya kredibilitas.
Ø  Melakukan “sharing” tanggung jawab. Ilmuwan, lembaga regulator dan industri harus share tanggungjawab dalam mengembangkan serta mengelola teknologi yang efektif dan aman.Pihak-pihak ini juga semakin menuntut agar konsumen turut bertanggung jawab secaralebih aktif berupaya mencari informasi mengenai pengembangan teknologi dan pembuatankebijakan.
Ø  Membedakan antara “science” dan “value-judgment”. Komunikasi risiko harus fokusberdasarkan kenyataan-kenyataan, bukan nilai-nilai. Namun demikian, pendekatanterhadap komunikasi risiko ini hampir tidak mungkin, karena mustahil suatu ilmupengetahuan bebas dari bias dan value-judgment. Oleh karena itu, ilmuwan harus berupaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan value-judgmentnya dari komunikasi risiko.
Ø  Menjamin transparansi. Dalam batas-batas tertentu menyangkut kerahasiaan suatuteknologi, ilmuwan tetap harus membantu publik untuk memahami proses pengembanganteknologi dan pengkajian risiko.
Ø  Menempatkan atau memposisikan risiko dalam perspektif. Risiko dan manfaat serta proba-bilitasnya masing-masing harus diperbandingkan satu sama lain. Namun demikian,memperbandingkan risiko ini harus dilakukan secara hati-hati, karena pilihan risiko-risikoyang hendak diperbandingkan tersebut mungkin saja merefleksikan bias.

Hambatan-hambatan terhadap komunikasi risiko efektif 
Ø  Hambatan-hambatan dalam proses analisis risiko:
Komunikasi memainkan peran vital selama proses analisis risiko untuk menjamin agar strategimanajemen risiko secara efektif dapat meminimalkan risiko yang dihadapi publik. Banyak langkah-langkah komunikasi selama proses merupakan hal yang bersifat internal serta pertukaran interaktif antara manajer risiko dan asesor risiko. Dua langkah kunci, yaitu identifikasi bahaya/hazard dan seleksiopsi manajemen risiko, memerlukan komunikasi risiko dengan semua pihak terkait untuk membantuperbaikan transparansi pengambilan keputusan dan meningkatkan potensi tingkat penerimaanoutcome.
1.      Kurangnya informasi yang tersediaSecara praktis, informasi mengenai keragaan dan keberhasilan teknologi barubiasanya relatif terbatas. Temuan baru dan kegunaan baru dari suatu teknologi dapatmemperbaiki kekurangan yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak diantisipasi.
2.       Akses terhadap informasiInformasi vital yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses analisis risiko belum tentudisediakan secara sukarela oleh yang memilikinya. Pihak industri atau swastaterkadang memiliki informasi mengenai suatu risiko, namun tidak bersedia berbagidengan lembaga pemerintah untuk melindungi posisi kompetitifnya, atau karenaalasan bisnis lainnya. Di sisi lain, karena berbagai alasan, lembaga pemerintahan mungkin juga tidak bersedia secara terbuka mendiskusikan kenyataan atau bukti-buktimengenai risiko tertentu. Akses penuh terhadap data relevan berkenaan dengan suaturisiko, belum tentu tersedia disetiap situasi. Kurangnya akses terhadap data yang bersifat kritikal mengenai risiko tertentu menyebabkan langkah-langkah identifikasibahaya dan manajemen risiko menjadi semakin sukar.
3.      Partisipasi di dalam prosesKurangnya partisipasi pihak-pihak terkait dalam proses analisis risiko dapat menjadihambatan penting untuk mengkomunikasikan risiko secara efektif. Partisipasi luas didalam proses akan memperbaiki komunikasi risiko dengan memanfaatkankesempatan untuk mengidentifikasi dan menjawab kekhawatiran dari pihak-pihakberkepentingan, pada saat keputusan dibuat. Partisipasi ini dapat meningkatkanpemahaman proses secara keselu-ruhan, sehingga akan mempermudah untukmengkomunikasikan keputusan-keputusan tersebut kepada publik.
Ø  Hambatan-hambatan berhubungan dengan human agency :
1.      Perbedaan dalam persepsi. Manusia dari segmen masyarakat berbeda atau darimasyarakat yang memiliki orientasi nilai yang berbeda akan memandang fakta ilmiahyang sama secara berbeda. Kekhawatiran tentang biaya dan sudut pandang mengenaicara pengelolaan risiko yang terbaik akan bervariasi antar individu maupun sub-populasi. Ekspos terhadap bahaya serta komitmen untuk menganalisis risiko akanberbeda dari orang ke orang. Efektivitas dari komunikasi risiko akan meningkat padasaat orang menjadi peduli tentang adanya perbedaan persepsi serta alasan-alasanyang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.
2.      Perbedaan dalam reseptivitas/penerimaan. Berdasarkan persepsi risiko yang serupa,kekhawatiran orang tentang risiko tersebut juga akan berbeda. Sebagian orang akanmenimbang 1% peluang kegagalan suatu teknologi sebagai sesuatu yang dapatditerima, sedangkan sebagian lain menganggap bahwa peluang kegagalan tersebutterlalu berisiko.
3.      Kurangnya pemahaman mengenai proses ilmiah. Kebanyakan orang yang tidakmemiliki pemahaman lengkap mengenai proses ilmiah, bukan semata-mata karenayang bersangkutan pendidikan formalnya rendah atau kesadarannya terhadap isu-isusosial kurang, tetapi karena ketidak-peduliannya terhadap ilmu pengetahuan. Orangyang berpendidikan tinggipun banyak yang kurang peduli terhadap ilmu pengetahuan.Oleh karena itu, komunikasi risiko harus menggunakan terminologi-terminologi non-teknis untuk mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan ketidak-pedulian (ignorance). Dalam hal ini, komunikasi risiko juga harus dapat memberikan edukasikepada publik mengenai proses ilmiah atau ilmu pengetahuan.
4.      Kredibilitas sumber informasi. Kepercayaan terhadap sumber informasi teknologi barumerupakan faktor paling penting yang mempengaruhi opini publik. Kepercayaan iniberhubungan erat dengan persepsi menyangkut keakhlian (expertise), akurasi dankekhawatiran berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat/publik. Ketidak-percayaanakan semakin meningkat sejalan dengan kecurigaan terhadap adanya penyimpangan/bias atau konflik kepentingan. Sekali hilang, kepercayaan ini akan sangat sukar untukdipulihkan.
5.      Efek/pengaruh media. Kebanyakan orang menerima informasi teknologi baru darimedia. Oleh karena hanya sebagian kecil reporter yang memiliki latar belakang kuat mengenai iptek, maka ketergatungan tinggi kepada ilmuwan untuk mempresentasikan informasi iptek secara jelas dan singkat dengan menggunakan bahasa non-teknis akanterjadi. Reporter disatu sisi secara etis terikat untuk mempresentasikan informasi tersebut berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan apa yang dianggap olehseorang ilmuwan sebagai kebenaran (truth). Ilmuwan seringkali menuduh mediasebagai penyebab terjadinya kontroversi publik yang seharusnya dapat dihindarkanseandainya media tidak mempresentasikan pandangan-pandangan dari kelompokoposisi. Hal ini mengimplikasikan perlunya pelatihan ketrampilan media bagikomunikator risiko serta perlunya pelatihan iptek bagi reporter.
6.      Karakteristik-karakteristik sosial. Hambatan bahasa, perbedaan budaya, buta huruf,hambatan geografis, diskriminasi, eksploitasi kekuasaan dan berbagai karakteristikmasyarakat lainnya akan sangat berpengaruh terhadap persepsi risiko, penerimaanpesan-pesan risiko, kredibilitas sumber informasi, serta opini mengenai risiko. Olehkarena itu, perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin dapat mempengaruhi persepsidan efektivitas komunikasi risiko perlu diidentifikasi secara teliti.

Strategi komunikasi risiko yang efektif 

Komunikasi risiko terjadi dalam berbagai konteks yang berbeda. Penelitian dan pengalamanmenunjukkan bahwa strategi komunikasi yang berbeda perlu dirancang untuk konteks yang berbeda-beda tersebut. Pendekatan sistematis yang harus dipertimbangkan pada saat mengembangkan strategikomunikasi risiko adalah sebagai berikut:
Ø  Latar belakang/informasi
1.      Pahami dasar ilmu pengetahuan dari teknologi, risiko dan ketidak-pastian
2.      Pahami persepsi publik mengenai risiko tersebut, melalui survai risiko, wawancara danfokus grup
3.      Temukan dan simpulkan informasi mengenai risiko seperti apa yang dikehendakipublik
4.      Pelihara kepekaan terhadap isu-isu terkait yang mungkin bahkan lebih pentingdibandingkan dengan risiko itu sendiri
5.      Pelihara kepekaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam persepsi, akses informasi,penerimaan informasi dan konteks sosial.


Ø  Persiapan
1.      Hindarkan penyederhanaan perbandingan antara risiko yang telah dikenal denganrisiko baru, karena mungkin saja keduanya tidak akurat
2.      Kenali dan tanggapi aspek-aspek emosional dari persepsi risiko. Sandman menyata-kan bahwa risk = hazard + outrage. Hazard adalah kajian teknis dari risik, sedangkan outrage adalah respon emosional terhadap hazard analysis. Hazard dan outrage merupakan determinan kajian (assessment) risiko publik yang sama pentingnya.
3.      Ekspresikan risiko ke dalam berbagai cara berbeda, tanpa menghindarkan isu-isusentral tentang teknologi baru.
4.      Jelaskan faktor-faktor ketidak-pastian yang digunakan dalam pengkajian risiko (risk assessment) dan penentuan standar 
5.      Jaga keterbukaan, fleksibilitas dan rekognisi tanggung jawab publik dalam semuakegiatan komunikasi
6.      Bangun kepedulian/kesadaran publik mengenai manfaat dan risiko teknologi baru
Ø  Diseminasi/distribusi
1.      Terima dan libatkan publik sebagai mitra resmi dalam perumusan kebijakan teknologi.Uraikan informasi mengenai risiko/manfaat dan cara-cara pengendaliannya secara jelas.
2.      Rasakan atau terima kekhawatiran publik (public’s concern), jangan sampai ditolak/dihindarkan karena dianggap tidak penting.
3.      Diskusikan semua isu secara jujur, baik-baik dan terbuka
4.      Jika menjelaskan data statistik yang dihasilkan dari pengkajian risiko, jelaskan prosesdari pengkajian risiko tersebut terlebih dahulu
5.      Koordinasi dan kolaborasi dengan sumber-sumber informasi kredibel lainnya
6.      Penuhi kebutuhan-kebutuhan dari media
Ø  Kaji ulang dan evaluasi
1.      Evaluasi efektivitas pesan-pesan risiko dan saluran-saluran komunikasi
2.      Berikan penekanan pada tindakan-tindakan untuk memantau, mengelola danmengurangi risiko
3.      Buat perencanaan secara hati-hati dan lakukan evaluasi terhadap setiap tindakan

Komunikasi risiko berkaitan dengan keamanan pangan

Struktur analisis risiko sebagai model untuk menetapkan standar keamanan pangan terdiri dari tigakomponen, yaitu pengkajian risiko (risk assessment), pengelolaan risiko (risk management) dankomunikasi risiko (risk communication) (FAO, 1997). Setiap komponen merupakan bagian terpisahdengan fungsi dan tanggung jawab unik, namun seperti diperlihatkan pada gambar di bawah ini, ketigakomponen tersebut saling tumpang tindih dan berbagi area yang sama (overlap and share commonareas). FAO (1997) menekankan pentingnya memisahkan pengkajian risiko dengan pengelolaan risikountuk menjamin agar proses pengkajian bersifat independen dan terbebas dari tekanan-tekanan, sertapengambilan keputusan didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan mitos atau faktor-faktor politis.Penekanan juga diberikan agar proses tersebut berlangsung secara terbuka dan transparan untukmengindikasikan peranan dari komunikasi risiko yang efektif. Paradigma baru komunikasi risikomenekankan partisipasi dini
Stakeholders dan publik sebagai sesuatu yang relevan dengan kontekspergerakan menuju demokratisasi (Slovic, 2000). Keterlibatan partisipatif ini merupakan kunci untukmembangun penerimaan dan pemahaman keputusan-keputusan kebijakan pemerintah. Modelpartisipatif komunikasi risiko secara potensial dapat memfasilitasi proses demokrasi dan meningkatkankeyakinan serta persetujuan terhadap keputusan-keputusan yang dibuat (Smith and Halliwell, 1999).

Kemampuan untuk mengkomunikasikan secara efektif risiko keamanan pangan atau risiko-risiko yangdipersepsi maupun yang diinduksi oleh teknologi baru, merupakan komponen integral dari strategipengelolaan risiko terpadu (Powell, 2000). Sektor pangan/makanan internasional pada saat ini sedangmenghadapi krisis kepercayaan sejalan dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan (misalnya E. coli , bovine spongiform encephalopathy –BSE, dan pangan/makanan yang direkayasa secara genetis). Penggunaan bahan-bahan kimia dalampertanian dan teknologi pangan lainnya, teknik manajemen serta kekhawatiran etis (ethical concerns)semakin mendapat sorotan dan semakin dipertanyakan manfaatnya. Namun demikian, kemampuanuntuk mengaplikasikan solusi berbasis ilmu pengetahuan akan sangat bergantung pada isu-isu persep-si publik, regulatory environment, kejujuran, keadilan, akuntabilitas dan kepercayaan. Pengkajian risikoilmiah teknologi pertanian pangan harus didukung oleh pengelolaan risiko berbasis penelitian dankegiatan-kegiatan komunikasi. Dengan demikian, konsumen, media dan lainnya secara seimbangdapat memperoleh pengkajian berbasis ilmu pengetahuan mengenai manfaat dan risiko suatu teknologi, serta dapat berdampak positif terhadap pengembangan kebijakan publik. Dalam hal ini,tantangannya adalah menggabungkan/memasukkan persepsi publik ke dalam perumusan/pengem-bangan kebijakan tanpa meninggalkan peranan kepemimpinan ilmu pengetahuan.

Penilaian publik terhadap risiko sangat peka terhadap banyak faktor. Penelitian di bidang psikologitelah mengidentifikasi 47 faktor yang berpengaruh terhadap persepsi publik mengenai risiko, termasukapakah risiko-risiko tersebut mematikan, tidak terkontrol, menjurus ke bencana dan tidak dapatdikompensasi oleh manfaat (Covello, 1992). Persepsi dari agen-agen pengendali/pengawas jugamempengaruhi persepsi risiko. Diskoneksi antara cara publik dan ilmuwan dalam mengukur risikodapat menjelaskan mengapa kekhawatiran publik tidak selalu merefleksikan tingkat risiko yangditetapkan secara ilmiah, bahkan pada beberapa kasus menjurus pada kesalahan persepsi tentang risiko yang dimaksud.

Kemajuan teknik produksi bahan-bahan kimia berakibat langsung pada penggunaan insektisida,fungisida maupun fumigan dalam kegiatan produksi pertanian/pangan. Keinginan untuk meningkatkanproduktivitas dalam rangka menjawab semakin meningkatnya permintaan pangan merupakan salahsatu kekuatan penghela penggunaan material kimiawi di sektor pertanian. Saat ini, disampingmenyemprotkan pestisida secara eksternal, bahan kimia alami bahkan direkayasa secara genetis kedalam tanaman. Diskusi publik mengenai bioteknologi pertanian berkembang hampir serupa dengandiskusi publik sebelumnya mengenai pestisida. Namun demikian, diskusi tersebut terutama lebihmenyoroti masalah risiko vs manfaat, bukan topik diskusi yang lebih menarik, misalnya mengenai memaksimalkan manfaat sambil meminimalkan risiko.
Selama dekade terakhir, informasi/pengetahuan telah banyak dihimpun untuk membantu pemahamanmengenai persepsi publik tentang bioteknologi pertanian, bagaimana media menterjemahkan informasiini, dan bagaimana pemerintah, industri serta organisasi-organisasi lain dapat menghubungkaninformasi risiko tersebut dengan berbagai disiplin ilmu. Komunikasi risiko – ilmu untuk pemahaman risiko ilmiah dan teknologi serta bagaimana risiko tersebut dikomunikasikan dalam suatu struktur sosiopolitis – merupakan disiplin ilmu yang relatif baru. Beberapa koleksi, panduan dan kaji ulangkomunikasi risiko telah dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir ini (Covello, Sandman, & Slovic, 1988;Covello, von Winterfeldt, & Slovic, 1986; Hance, Chess, & Sandman, 1988; Leiss, 1989; Lundgren,1994; Morgan, 1993; Morgan, et al., 1992; Powell, 2000; Powell & Leiss, 1997; US National ResearchCouncil, 1989).
Soby, Simpson dan Ives (1993) dalam suatu kaji ulang penelitian komunikasi risiko dan kegunaannyauntuk mengelola risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan, telah mengembangkan suatukonsep siklus pengelolaan risiko. Dalam model ini, kekhawatiran (concern) publik dan stakeholder lainnya secara aktif disoroti di setiap tahapan pengkajian proses manajemen. Pendekatan integratif analisis risiko ini dirancang mengikuti tahapan:
Ø  Mendefinisikan masalah dan meletakkannya dalam konteks tertentu
Ø  Menganalisis risiko yang berkaitan dengan masalah dalam konteks
Ø  Memeriksa opsi-opsi yang dapat digunakan untuk menangani risiko
Ø  Mengambil keputusan menyangkut opsi yang akan dilaksanakan
Ø  Melakukan tindakan sebagai implementasi dari keputusan yang telah diambil
Ø  Melakukan evaluasi terhadap hasil dari tindakan

Sesuatu hal yang bersifat fundamental dari pendekatan ini adalah penggunaan komunikasi risiko untukmengikut-sertakan stakeholders di seluruh proses. US National Research Council mendefinisikankomunikasi risiko sebagai suatu proses interaktif dari pertukaran informasi dan opini antara individu, kelompok serta institusi. Penelitian terakhir mengenai pengelolaan risiko dan komunikasi mengindikasikan bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan risiko keamanan pangan harus sungguh-sungguh memperlihatkan upayanya untuk mengurangi, meringankan atau meminimalkan risiko tertentu. Pihak-pihak bertanggung jawab ini harus dapat mengkomunikasikan upayanya secara efektif dan membuktikan bahwa upaya-upaya tersebut secara aktual dapat mengurangi tingkat risiko. Kondisi pada saat ini yang menyangkut ketidak-percayaan terhadap regulatory agencies dan industri, terutama di Eropa, membuat komunikasi risiko tidak saja semakinmenantang, tetapi juga menjadi semakin penting.
Peliputan media mengenai pangan/makanan yang direkayasa secara genetik (dan bioteknologi secara umum) seringkali dipolarisasi menjadi: keamanan vs risiko; ilmu pengetahuan yang semakinberkembang vs ilmu pengetahuan yang tidak terkontrol; kebersaingan vs keamanan (Powell and Leiss,1997). Film dan novel telah sejak lama menjejali publik dengan citra ilmu pengetahuan yang lepaskendali/tidak terkontrol. Pada saat hal ini juga dibarengi dengan tendensi masyarakat Barat yangmenetapkan ekspektasi tidak realistis terhadap suatu teknologi, maka terciptalah lingkungan idealuntuk berkembangnya ketakutan/keprihatinan publik. Sampai tahun 1994, pada saat rBST dan produk bioteknologi lainnya muncul di USA, banyak laporan yang menuliskan tentang ilmu pengetahuan yangtidak terkontrol (out of control). Kondisi ini diperhebat dengan munculnya film Jurassic Park pada tahun1993 yang menceritakan teknologi rekombinan DNA sebagai salah satu kegagalan ilmu pengetahuanyang membahayakan masyarakat. Cerita-cerita lain seperti: Research Skewed: Bioengineered Food Serves Corporate, Not Public, Needs (Dubey, 1993); Science Is Playing With Our Food (Murray, 1993); Invasion Of The Mutant Tomatoes (Powell, 1992); dan Genetics Expert Fears Mutant Monsters (1993); telah memberikan banyak bahan/material untuk editorial kartun yang sebagian besar diturunkan ataudiadaptasi dari metaphor Frankenstein. 
Analisis media merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memahami formasi opini publik – melihat apa yang dikatakan orang dan apa yang telah diceritakan kepada mereka. Penelitian sebelumnya telah mendemonstrasikan bahwa konsumen di Amerika Utara banyak menerima informasiilmu pengetahuan dari media (Powell & Griffiths, 1994; Consumers Association of Canada, 1990;Nelkin, 1987). Kebergantungan terhadap media ini dapat membantu pendefinisian rasa publikmengenai realitas (public’s sense of reality) dan persepsi publik mengenai risiko maupun manfaat.Media tidak hanya merefleksikan persepsi publik mengenai suatu isu tertentu, tetapi juga membentukpersepsi publik dengan menceritakan kepada masyarakat mengenai apa yang harus dipikirkan.Dengan demikian, cara-cara yang digunakan media untuk menggambarkan isu-isu sekitar bioteknologipertanian dan keamanan pangan dapat mempengaruhi persepsi konsumen. Bagaimana hal ini dapatditerjemahkan ke perilaku konsumen masih belum ada informasi yang jelas, bahkan cenderung lebihkontroversial. Walaupun demikian, secara umum disepakati bahwa pengaruh pesan-pesan media akansangat bergantung pada konteks sosial dan budaya masyarakat yang menerima pesan tersebut.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya diskusi publik mengenai bioteknologi pertanianyang cenderung mengikuti jejak adopsi secara luas input produksi kimiawi setelah Perang Dunia II,dimana pendukungnya menganjurkan edukasi yang lebih baik, sedangkan kritikusnya mencemoohkannilai kegiatan pertanian produktivitas tinggi. Diskusi lebih terfokus pada pembicaraan risiko vs manfaat,bukan pada topik diskusi yang lebih mengarah pada memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko.
Dalam merespon kontroversi risiko publik (seperti bioteknologi pertanian), politikus, eksekutif perusahaan dan akademisi mendorong masyarakat agar memperoleh edukasi/pendidikan yang lebihbaik berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah. Hal ini diarahkan untuk mengatasi ketakutan/kekhawatiran publik yang merupakan salah satu hambatan kemajuan. Strategi retorikal seperti ini telahsering disarankan oleh promotor teknologi di dalam diskusi-diskusi mengenai risiko teknologi sejak 200tahun yang lalu. Promotor bahan-bahan kimia pertanian pada tahun 1960an serta promotor enerji nuklir pada tahun 1970an juga telah memanfaatkan model pendidikan publik (public education model) dan gagal.
Hasil survai berulang-ulang menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih peduli tentang bioteknologidan berpendapat bahwa bioteknologi akan lebih menawarkan manfaat, juga berpendapat bahwabioteknologi tersebut lebih menimbulkan risiko bahaya (Angus Reid Group Inc., 1999; Environics, 2000;Frewer, Howard, & Shepherd, 1995; Hoban, 1997). Dugaan bahwa peningkatan/penguatan pendidikansecara otomatis dapat meningkatkan penerimaan terhadap bioteknologi ternyata tidak tergambarkan dari hasil survai. Pendapat alternatif lainnya menyatakan bahwa mereka yang memiliki latar belakangpendidikan lebih baik akan dapat secara lebih kritis mengkaji risiko dan manfaat suatu teknologi baru,seperti bioteknologi. Dalam alam demokrasi, pemilih (voters) secara rutin akan membuat keputusanmengenai kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak mereka miliki detil pemahaman akademisnya.Konsumen akan terus membuat keputusan mengenai bioteknologi, terlepas apakah mereka memilikilatar belakang pendidikan yang baik atau tidak.

Beberapa survai di Amerika Utara dan Inggris menemukan bahwa kepercayaan terhadap regulasipemerintah (dan industri) berkenaan dengan pestisida (Dittus and Hillers, 1993), maupun produkbioteknologi (Frewer et al., 1995) merupakan prediktor paling kuat untuk dukungan konsumen. Orang dapat menaruh kepercayaan atau tidak mempercayai bahwa pestisida dan produk bioteknologi telahcukup diatur oleh pemerintah. Mereka yang memiliki kepercayaan rendah akan sangat khawatir mengenai kemungkinan risiko bahaya, sedangkan mereka yang menaruh kepercayaan tinggi akanmempersepsi adanya manfaat tinggi dari kedua jenis produk tersebut. Secara singkat, kepercayaankepada pemerintah dan industri mungkin berpengaruh lebih penting terhadap persepsi risiko dibandingkan dengan keamanan atau bahaya yang sebenarnya melekat (inherent) pada produkpestisida atau bioteknologi tertentu.

Konsumen memerlukan informasi berasal dari sumber terpercaya yang dapat menjelaskan mengenairisiko serta langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menangani risiko tersebut, disamping aspekkeamanan dan manfaat dari teknologi bersangkutan. Sebagai contoh, untuk orang Kanada, sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk makanan, kesehatan dan isu-isu pertanian adalahkelompok konsumen, kelompok tani dan organisasi nirlaba (Ipsos-Reid, 2001). Penelitian lainnyamengindikasikan kredibilitas yang tinggi bagi ilmuwan independen (berafiliasi dengan universitas ataulembaga penelitian publik) dan profesional kesehatan (Earnscliffe Research and Communication,2001).
Produsen harus tetap konsisten dalam menerapkan praktek pengelolaan yang baik (good management  practices) dan mengkomunikasikannya. Konsumen menginginkan informasi yang jujur mengenai sifatrisiko tertentu. Program-program pengelolaan risiko yang bersifat producer-led merupakan strategi pengelolaan risiko yang tepat untuk mendemonstrasikan bahwa produsen peduli terhadapkekhawatiran konsumen mengenai keamanan pangan dan bioteknologi pertanian. Bekerjasamadengan media dan mengkomunikasikan program tersebut secara dini dapat menguatkan persepsikepercayaan.

Dalam suatu penelitian mengenai penerimaan konsumen terhadap tanaman pangan yang dimodifikasisecara genetik di Ontario, Kanada, jagung manis Bt dan kentang Bt (Bacillus thuringiensis) yang direkayasa secara genetik, ditanam berdampingan dengan varietas konvensional. Jagung manis Btmaupun kentang Bt tidak membutuhkan insektisida. Panen jagung dan kentang dipisahkan dan diberilabel, kemudian uji konsumen langsung dilakukan untuk mempelajari preferensi pembelian. Secarakeseluruhan, penjualan jagung manis Bt (680 lusin) ternyata mengalahkan penjualan jagung manisreguler (452,5 lusin). Survai konsumen mengindikasikan bahwa pengurangan penggunaan pestisidadan perbaikan rasa serta kualitas mempengaruhi keputusan pembelian jagung manis Bt (Powell et al.,2002). Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa konsumen dapat menangani pesan-pesanmengenai risiko. Jagung manis secara jelas diberi label hasil rekayasa genetik, dan latar belakanginformasi mengenai arti rekayasa genetik juga diberikan. Mayoritas konsumen setelah membacainformasi tersebut ternyata memilih untuk membeli jagung manis yang direkayasa secara genetik.Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan risiko yang satu dengan risiko lainnya(pestisida vs bioteknologi), tetapi untuk mengenali kekhawatiran-kekhawatiran yang terjadi dimasyarakat dan memberikan informasi secara terbuka mengenai apa yang dikehendaki konsumen.




Penutup

Beberapa pertimbangan penting untuk komunikasi risiko (misalnya untuk keamanan pangan) di masadepan adalah sebagai berikut:
Ø  Publik atau konsumen dibagi ke dalam banyak segmen-segmen yang berbeda danmenunjukkan tingkat upaya pencarian informasi yang berbeda-beda pula. Komunikasi risikoefektif untuk populasi besar yang heterogen sangat sukar dilaksanakan, bahkan cenderungtidak mungkin
Ø  Strategi komunikasi risiko dengan target yang jelas sangat diperlukan untuk segmen-segmen yang berbeda. Kegiatan identifikasi harus ditempuh untuk menentukan kelompokspesifik yang berisiko (at risk)
Ø  Kelengkapan/ketersediaan informasi tidak selalu menjamin terjadinya perubahan perilaku.Upaya untuk mempromosikan perubahan perilaku keamanan pangan mungkin lebih sulitdibandingkan dengan mempromosikan perubahan diet.
Ø  Pendidikan mengenai keamanan pangan pada usia dini (melalui kurikulum sekolah) sangatdianjurkan
Ø  Kepercayaan merupakan sesuatu yang sangat kompleks serta lebih bergantung pada faktor-faktor sosial dan kelembagaan, dibandingkan dengan persepsi risiko individual
Ø  Tindakan-tindakan yang diambil untuk memperbaiki keamanan pangan secara positif telahmempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen
Ø  Pendekatan baru untuk komunikasi risiko, khususnya peningkatan transparansi danketerlibatan publik, juga mengandung kelemahan. Hal ini mengimplikasikan perlunya upayaperbaikan secara terus menerus
Ø  Konsumen di masa depan tidak hanya akan memberikan perhatian terhadap keamananpangan, tetapi juga akan menyoroti masalah nutrisi, kualitas pangan dan isu-isu etikal.



Pustaka

ü  Angus Reid Group Inc. 1999. International awareness and perceptions of genetically modified foods.The Economist/Angus Reid Poll, 1-5.
ü  Chartier, J. & Gabler, S. 2001. Risk communication and government: theory and application for theCanadian Food Inspection Agency. Chapter 2: Theoretical aspects of risk communication. Available at http://www.inspection.gc.ca/englishcorpaffr/publications/ riscomm/ricomm/ch2e.shtml. Accessed end of 2002.
ü  Consumers. Association of Canada. 1990. Food safety in Canada. Ottawa: Consumers. Association of Canada.
ü  Covello, V.T. 1992. Risk communication: An emerging area of health communication research. In S.Deetz, Communication Yearbook (15th ed., pp. 359-373). Newbury Park: Sage Publications.
ü  Covello, V.T., Sandman, P., and Slovic P. 1988. Risk communication, risk statistics and riskcomparisons: A Manual for plant managers. Washington, DC: Chemical Manufacturers Association.Covello, V.T., von Winterfeldt, D., and Slovic, P. 1986. Risk communication: A review of the literature.Risk Abstracts, 3, 171-182.
ü  Dittus, K.L. and Hillers, V.N. 1993. Consumer trust and behavior related to pesticides. FoodTechnology, 477, 87-89.
ü  Dubey, A. 1993, May 29. Research skewed. Kitchener-Waterloo Record, p. A7.
ü  Earnscliffe Research and Communications. 2001. Presentation to the CFIA consultation on plantmolecular farming. Ottawa, Canada. November 1.
ü  Environics. 2000, July. Risk/benefit perceptions of biotechnology products (Final Report Pn4593).Prepared for Health Canada.
ü  FAO. 1997. Risk management and food safety. Report of a Joint FAO/WHO Consultation. FAO Foodand Nutrition Paper No. 65. Rome. 27 pp. Available at http://www.fao.org/docrep/W4982E/W4982E00.htm.
ü  FAO/WHO. 1998. The application of risk communication to food standards and safety matters. Reportof a Joint FAO/WHO Expert Consultation. FAO Food and Nutrition Paper No. 70. Rome. 46 pp.
ü  Fischhoff, B., Slovic, P., Lichtenstein, S. & Combs, B. 2002. How safe is safe enough? A psychometricstudy of attitudes toward technological risks and benefits. In P. Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan Publications. 474 pp.
ü  Flynn, J. 2002. Nuclear stigma: notes on the social history of radiation. Report to the U.S. Departmentof Energy Low Dose Radiation Research Program. Available at http://www.decisionresearch.org/Projects/Low_Dose/research_reports.html.
ü  Frewer, L., Howard, C., and Shepherd, R. 1995. Genetic engineering and food: What determinesconsumer acceptance? British Food Journal, 97, 31-36.
ü  Genetics expert fears mutant monsters. 1993, March 24. Kitchener-Waterloo Record, p. A3.
ü  Greenpeace. 2001. Fishtomato.com. Available on the World Wide Web: http://www.fishtomato.com/.
ü  Hadden, S.G. 2001. A citizen’s right to know: Risk communication and public policy. Battelle Press.
ü  Hance, B.J., Chess, C., and Sandman, P.M. 1988. Improving dialogue with communities: A Riskcommunication manual for government. New Brunswick, NJ: Rutgers University EnvironmentalCommunication Research Program.
ü  Hoban, T.J. 1997. Consumer acceptance of biotechnology: An International perspective. NatureBiotechnology, 15, 232-234.
ü  Ipsos-Reid. 2001, March. New thoughts for food: Consumer perceptions and attitudes toward foods(Final Report). Wave 1, Winnipeg, Manitoba.
ü  Leiss, W. 1989. Prospects and problems in risk communication. Waterloo, Ontario: University of Waterloo Press.
ü  Lundgren, R. 1994. Risk comunication: A Handbook for communicating environmental, safety andhealth risks. Battelle Press: Columbus, Ohio.
ü  Morgan, M.G. 1993, July. Risk analysis and management. Scientific American, 32-41.
ü  Morgan, G.M., Fischhoff, B., Bostrom, A., Lave, L., and Atman, C.J. 1992. Communicating risk to thepublic. Environmental Science & Technology, 26, 2048-2056.
ü  Murray, M. 1993, May 11. How to build a better potato chip. Toronto Star, p. A1.
ü  Nelkin, D. 1987. Selling science: How the press covers science and technology. New York: W.H.Freeman and Company.
ü  Powell, D.A. 2000. Food safety and the consumer.perils of poor risk communication. Canadian Journalof Animal Science, 80(3), 393-404.
ü  Powell, D.A. 1992, September 12. Invasion of the mutant tomatoes. Globe and Mail, p. D8.
ü  Powell, D.A., Blaine, K., Morris, S., and Wilson, J. 2002. A comparative analysis of the agronomic,economic and consumer considerations regarding genetically engineered Bt and conventionalsweet corn and table potatoes on a commercial fruit and vegetable farm in Ontario, Canada.Manuscript submitted for publication.
ü  Powell, D.A. and Griffiths, M.W. 1994, June. Public perceptions of agricultural biotechnology in Canada.Paper presented at annual meeting of the Institute of Food Technologists, Atlanta, GA.
ü  Powell, D.A. and Leiss, W. 1997. Mad cows and mother.s milk: The Perils of poor risk communication.McGill-Queen's University Press.Sandman, P. 1987. Risk communication: facing public outrage. EPA Journal. Nov., pp. 21-22. Available at http://www.psandman.com/articles/facing.html.
ü  Sandman, P. 1993. Responding to community outrage: Strategies for effective risk communication. American Industrial Hygiene Association.
ü  Slovic, P. 2000. Trust, emotion, sex, politics and science: surveying the risk-assessment battlefield. InP. Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan Publications. 474 pp.
ü  Smith,W. & Halliwell, J. 1999. Principles and practices for using scientific advice in government decisionmaking; international best practices. Ottawa, Canada, Report to the S & T Strategy Directorate,Industry Canada. Available at http://csta-cest.gc.ca/pdf/bestprac1_e.pdf.
ü  Soby, B.A., Simpson, A.C.D., and Ives, D.P. 1993. Integrating public and scientific judgements into atool kit for managing food-related risks, stage 1: Literature review and feasibility study (ERAUResearch Report No. 16). Report to the UK Ministry of Agriculture, Fisheries and Food.Norwich, UK: University of East Anglia.
ü  United States National Research Council. 1989. Improving risk communication. Washington, DC:National Academy Press Committee on Risk Perception and Communication.

No comments:

Post a Comment

comment with facebook