A.
Konsep
dan Ilmu Politik
Menurut Miriam Budiarjo politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu. Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut
pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber resources yang ada. Untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan,
yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat
bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan ini hanya merupakan perumusan
keinginan belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat, bukan tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut
kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Ada lima konsep pokok dalam ilmu politik, yaitu:
1.
Negara (state); menurut Miriam
Budiarjo Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati moleh rakyatnya. Menurut Thomas
Aquinas: Negara merupakan lembaga sosial manusia yang paling tinggi dan
luas yang berfungsi menjamin manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya yang
melampaui kemampuan lingkungan sosial lebih kecil seperti desa dan kota.
2.
Kekuasaan (power); menurut
Miriam Budiarjo kekuasan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari
pelaku.
3.
Pengambilan Keputusan (decision
making); menurut Miriam Budiarjo keputusan adalah membuat pilihan diantara
beberapa alternatif, sedangkan istilah pengambilan
keputusan menunjukkan pada proses yang terjadi sampai
keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik
menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat
seluruh masyarakat.
4.
Kebijakan (policy); menurut
Miriam Budiarjo kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang membuat
kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
5.
Pembagian (distribution);
menurut Miriam Budiarjo yang dimaksud dengan pembagian adalah pembagian dan
penjatahan niali-nilai dalam masyarakat.
B.
Perkembangan
Ilmu Politik
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai
cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang
pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai
membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan
antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik
menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.
Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno,
membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman
Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat
beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat
pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri.
Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai
pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan
lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah
terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul
dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun
500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan
Yang(±350 S.M.).
Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang
kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi.
Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak
oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik
pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu
politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah
dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada
keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan
diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan
perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat
mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat,
dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association pada
1904.
Perkembangan ilmu politik setelah Perang Dunia II berkembang
lebih pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, walaupun penelitian tentang negara di Belanda masih didominasi
oleh Fakultas Hukum. Di Indonesia sendiri didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, seperti di Universitas Riau. Perkembangan awal ilmu politik di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena pendidikan tinggi ilmu
hukum sangat maju pada saat itu.Sekarang, konsep-konsep ilmu politik yang baru
sudah mulai diterima oleh masyarakat.
Di negara-negara Eropa Timur, pendekatan tradisional dari
segi sejarah, filsafat, dan hukum masih berlaku hingga saat ini. Sesudah
keruntuhan komunisme, ilmu politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan
ditambahnya pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di negara-negara barat
pada pendekatan tradisional.
Perkembangan ilmu politik juga disebabkan oleh dorongan kuat
beberapa badan internasional, seperti UNESCO. Karena adanya perbedaan dalam
metodologi dan terminologi dalam ilmu politik, maka UNESCO pada tahun1948
melakukan survei mengenai ilmu politik di kira-kira 30 negara. Kemudian, proyek
ini dibahas beberapa ahli di Prancis, dan menghasilkan buku Contemporary
Political Science pada tahun 1948.
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda.
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda.
Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak
memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan
ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan
banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah
ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting
dipelajari untuk mengerti tentang politik.
C.
Negara,
Kekuasaan, dan Legalitas
Prof. Miriam Budiardjo: Negara adalah suatu daerah teritorial
yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap Negara, apapun
ideologinya menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yaitu :
1. Fungsi
penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama bentrokan-bentrokan
dalam masyarakat, maka Negara harus melaksanakan penertiban atau bertindak
sebagai stabilisator.
2. Fungsi
kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari Negara.
3. Fungsi
pertahanan, yaitu untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, sehingga Negara
harus diperlengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4. Fungsi
keadlian, yang dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Sifat dan hakikat negara menurut Prof . Miriam
Budiardjo mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Sifat
Memaksa
Negara
memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuatan fisik secara legal.
Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan alat penjamin hukum lainnya.
Dengan sifat memaksa ini diharapkan semua peraturan perundangan yang berlaku
ditaati supaya keamanan dan ketertiban negara tercapai. Bentuk paksaan yang
dapat dilihat dalam suatu negara adalah adanya Undang-Undang perpajakan yang
memaksa setiap warga negara untuk membayar pajak, bila ada yang melanggar akan
dikenakan sanksi hukuman.
2. Sifat
Monopoli
Negara
mempunyai sifat monopoli dalam menetapkan tujuan bersama masyarakat. Misalnya
negara dapat mengatakan bahwa aliran kepercayaan atau partai politik tertentu
dilarang karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat dan negara.
3. Sifat
Mencakup Semua ( All - embracing )
Semua
peraturan perundangan yang berlaku adalah untuk semua orang tanpa kecuali. Hal
itu perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup
aktivitas negara, maka usaha negara untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan
akan gagal.
Kekuasaan menurut Miriam budiardjo, yaitu kemampuan seseorang
atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok
lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan
dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Miriam Budiarjo (1985) menyebut negara sebagai sebuah
kesatuan elemen politik. Kesatuan ini bermakna sebagai sebuah konsensus formal
yang menunjuk satu pola untuk mengelola kekuasaan dan masyarakat. Negara dengan
konsensus tersebut memiliki hak dan kekuasaan untuk memaksa anasir masyarakat
untuk tunduk pada aturan-aturan yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan
sosial.
Budiarjo menyebutkan dua fungsi fundamental dari negara,
yaitu mengatur kekuatan politik dalam negara agar tidak terjadi antagonisme
yang menggangu stabilitas dan keteraturan sosial; dan memadukan aktivitas warga
negara untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati (Budiarjo, 1985).
Negara secara prinsipil merupakan agen dan institusi formal
yang mengatur masyarakat atas nama masyarakat. Pengendalian atau pengaturan
oleh negara bertujuan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dan
harmonis antar anggota atau kelompok dalam masyarakat. Agar berjalan sesuai
dengan kebutuhan maka negara menciptakan aturan sekaligus agen (agency)
pelaksana. Aturan-aturan tersebut mengikat. Warga negara memiliki fungsi
kontrol melalui mekanisme pengaturan yang disepakati secara awam.
Mengutip Lanski, Budiarjo menyebutkan tujuan terbentuknya
negara sebagai sebuah insitusi yang memungkinkan pencapaian maksimal dari
tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan keberadaan negara pun berkembang seiring
dengan perkembangan idiologi-idilogi politik. Marxisme memandang negara sebagai
alat kontrol untuk membatasi kekuasaan atas modal yang menimbulkan
ketidakadilan atau persoalan ketimpangan ekonomi masyarakat. Liberalisme
memandang negara semata sebagai pengawas agar gerak persentuhan masyarakat
tidak saling berbenturan. Mekanisme adalah bentuk yang paling ideal dalam
aliran politik ini. Pada marxisme negara bertujuan untuk meratakan keadilan
agar dapat diakses secara setara.
Perbincangan soal negara pun diperdebatkan dalam ranah
pengetahuan yang berbeda, seperti politik, sosiologi, psikologi, hingga agama.
Perbedaan sudut pandang tersebut memunginkan pengayaan. Sejarah filsafat Yunani
kuno bahkan banyak menyebutkan perbincangan soal negara, seperti diskursus
kenegaraan yang banyak diulas oleh Plato. Artinya, perkembangan negara
merupakan bagian penting dalam perkembangan masyarakat selanjutnya. Ilmu dalam
hal ini memandang perlu unutk menjadi bagian langsung dalam perumusan dan
pembentukan negara.
Agama dalam konteks agama pun menjadi sangat beragam. Pada
sejarah kekuasaan Eropa abad pertengahan -yang dikenal dengan abad kegelapan-
peran agama menjadi sangat sentral. Institusi agama memiliki kemapuan untuk
secara langsung melakukan intervensi terhadap kekuasaan negara. Revolusi
Perancis adalah salah satu bentuk penolakan masyarakat atas keterlibatan agama
secara terlalu dalam dalam pengelolaan negara.
Negara-negara di Timur tengah pada abad 18 juga dipengaruhi
secara kuat oleh keberadaan agama. Beberapa kerajaan secara terperinci dan
jelas menyebutkan agama tertentu sebagai asas atau fondasi mendasar dalam
pengeloloaan negara. Runtuhnya kerajaan Turki Ustmani yang ditandai dengan
reformasi besar-besaran Turki oleh Musthafa Kamal at-Turk adalah bentuk
penolakan yang serupa terhadap institusi kerajaan Ustmani sekaligus peran agama
yang dominan.
Ide tentang negara megalami pasang-surut dari waktu ke waktu.
Kerasnya persaingan antar negara-bangsa menyebabkan beberapa negara
menginginkan situasi yang kembali pada tahun atau model-model tradisional
pengelolaan negara. Tak heran jika gerakan-gerakan yang mendorong terbebntuknya
negara agama sangat marak di pelbagai belahan dunia. Di Irlandia kelompok
Kristen Protestan mencoba membangun sebuah konsep negara agama dan
perjuangannya. Perjuangan mewjudkan negara agama pun terjadi pada kelompok
Islam. Dengan slogan perlawanan atas doominasi barat, gerakan seperti Hizbut
Tahrir yang bersifat internasionalis kembali mencita-citakan terbentunya
negara-negara agama.
D.
Contoh
Kasus
Negara
dan Etnis Tionghoa
Sejarah Diskrimnasi terhadap etnis Tionghoa terjadi sejak
Orde Lama dan dipertahankan secara struktural oleh Orde Baru dan juga secara
tidak langsung dipertahankan terus-menerus oleh aparat pemerintah. Sejak
pemberlakuan UU tahun 22 Tahun 1958 tentang Surat Bukti Keterangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) kelompok Tionghoa menjadi kelompok
yang terdiskriminasi secara dmisnitratif dan sosial. Tindakan negara yang
membedakan etnis Tionghoa diikuti oleh masyarakat secara tidak langsung.
Stereotipe tentang Etnis Tionghoa pun melekat sebagai pengetahuan umum (common
sense).
Kelahiran UU tahun 62 Tahun 1958 yang salah satunya mengatur
SKBRI mulanya adalah bentuk respon politik pemerinah Indonesia terhadap sikap
pemerintah China yang memberlakukan prinsip Ius Sanguinis dalam
ketatanegaraannya. Namun, tanpa disadari sikap penerbitan UU tersebut justeru
memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat etnis Tionghoa (Effendi
& Prastyadji, 2008).
Terbitnya UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Indonesia yang menghapus pemberlakuan UU 62 tahun 1958 tidak sepenuhnya
efektif. Fakta menunjukkan bahwa secara sistematis pembedaan atas etnis
Tionghoa secara formal masih diberlakukan dan dipertahankan. Keputusan Presiden
No 56 tahun 2006 yang secara eksplisit mengatur pembatalan praktek kewajiban
SKBRI tidak berjalan mulus pula. Praktek dan aturan hukum masih memiliki jarak
yang cukup jauh yang tidak memudahkan enis Tionghoa untuk mengakses
administrasi sengara secara lebih mudah.
Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No 26 Tahun 1998 yang
menghilangkan praktek penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi juga tidak menyurutkan
praktek-praktek pemdeaan secara admisnitratif kepengurusan kependudukan yang
berimplikasi pada hal-hal lainn pada kelompok etnis Tionghoa. Aparatus
pemerintah di pelbagai level masih tetap melakukan pembedan yang telah menjadi
semacam mekanisme kultural. Sosialisas tentang hilangnya pembedaan sangatlah
minim dan diperburuk dengan budaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang
telah mengental dan mendarah daging pada pelaku pelayanan publik.
Analisis Contoh Kasus
Tindakan diskriminatif oleh negara selalu menjadi contoh atau
bom waktu di tengah masyarakat. Tindakan yang terkadang dilanggengkan dengan
terbitnya jenis-jenis peraturan pemerintan merupakan sebuah percontohan yang
terus menerus bagia masyarakat untuk melakukan atau meniru praktek intimidasi
dan diskriminasi pada level akar rumput.
Isu Etnis Tionghoa dan PKI adalah yang paling kentara.
Pengetahuan awam masyarakat tentang keduanya nyaris seragamakarena memmang
dibentuk oleh negara. Perisitiwa kekejian pemberangusan aset Etnis Tionghoa dan
yang juga diikuti oleh pembantai dan pemerkosaan pada pertengahan Mei 1998
adalah ledakan bom waktu dari cara pemerintah mengajarkan perbedaan kepada
masyarakat melalui peraturan yang disahkan dan diberlakukan oleh negara.
Persitiwa serupa terjadi pada penyerangan-penyerangan
kelompok sipil kepada aksi buruh yang diidentikan dengan gerakan kiri. Setali
tiga uang dengan kasus Etnis Tionghoa, hal tersebut adalah buah dari cara
negara memperlakukan warga negaranya yang ditiru oleh masyarakat sipil.
Rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa praktek
kekerasan struktural dan kultural hanya akan melahirkan tindak kekerasan yang
lain. Negara yang mengedepankan kekerasan secara tidak langsung memberikan
pembelajaran kepada masyarakat untuk melakukan tindakan serupa.